DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Monday, December 28, 2009

Busway dan Umpatan

Berbeda dari biasanya yang menggunakan mobil bareng isteri, pagi ini saya memutuskan menggunakan bus way menuju kantor. Pilihan itu didasari kepraktisan dan kelegaan. Praktis karena tidak menyetir sendiri. Lega karena tidak stress menghindari motor yang lebih agresif dari angkutan umum. Selain itu, karena sudah memasuki akhir tahun, harapan bahwa penumpang dan pengguna kendaraan sudah berkurang karena sudah banyak yang memasuki libur akhir tahun.
Harapan saya terkabul adanya. Saya masuk halte pertanian dan membeli tiket. Selang beberapa menit saya sudah berada dalam busway meluncur ke arah dukuh atas. Posisi di dalam busway berdiri tapi tidak penuh sesak seperti sebelumnya kalau sekali kali saya memilih transportasi ini. Jalur busway lumayan lancar sehingg waktu tempuh relatif singkat. Hemat saya kelancaran ini karena motor sebagai komplemen pengguna transjakarta relatif berkuang.
Tiba di halte Bank Indonesia, aku turun dan menyusuri tangga untuk keluar dari wilayah busway.
Pada waktu berada di jembatan penyebarangan, saya kaget melihar dan mendengar seorang ibu yang sedang mengumpat orang yang lewat.
sayup terdengar," ya allah, orang kantor pelit amat, tidak memberi amal".
saya tidak berkomentar kepada keluhan ibu itu. Namun sambil melangkah, pikiranku reflek memberi reaksi.
Apakah orang kantor memang pelit? Apakah ibu itu harus mengumpat, sementara dia memposisikan diri untuk dikasihani?
apakah belas kasihan yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai amal adalah perbuatan yang memberi selembar ribuan kepada mereka yang ada di jalanan?
Siapa yang memutuskan mereka untuk berkeliaran di jalanan? Siapa yang memilih posisi mereka di atas jembatan dan bukan di atas lahan?
Apakah memang mereka juga sudah terjebak dengan instant mindset, dimana seseorang memberikan mereka sekeping logam limaratus selisih tiket busway merupakah bentuk amal?

Saturday, October 03, 2009

PARADOKS BENCANA

Gempa...gempaa..gempaaa...
Jerit histeris dan kepanikan kembali mewarnai anak manusia di bumi Minangkabau khususnya Padang dan Paris (Pariaman Sekitarnya). Gelombang getar berkekuatan 7,6 SR penghujung September 2009 membungkam semarak pesta dan melahirkan isak tangis.
Hotel ambruk, perkantoran bertekuk, toko-toko sujud, rumah-rumah berserakan dan jiwa melayang dan jasad bertindihan. Dada penuh sesak, bibir tak juga mampu berucap. Airmata satu-satunya alur mencurahkan kepedihan dan kesesakan.
Media bergema meneriakkan gempa dan bencana ke seantero nusantara bahkan ke seluruh belahan dunia. Dalam sekejab, semua mata memandang sambil mengalirkan air. Kantong dibuka menadahkan belas kasihan. Dompet dibuka memberikan sumbangan tanda empati. Pasukan digiring menyisihkan puing-puing. Relawan berbondong-bondong mengulurkan tangan. Amerika, Jepang, Eropa berdatangan, semua mendemonstarikan kemanusiaan.
Sekali lagi, muncul pertanyaan : Apakah kedamaian tidak bisa melahirkan kasih sayang? Mengapa ketika ada bencana dan tangisan baru muncul kata kemanusiaan? Mengapa dikala semua memiliki kesempatan yang sama untuk bereksistensi sebagai manusia justeru kasih kemanusiaan dikubur dalam-dalam? Apakah hanya ketika bencana terjadi maka penonjolan suku, ras, agama, antar kelompok, negara berhasil dipadamkan?

Tapi tunggu dulu, jangan terlanjur tersanjung. Lihat kerumunan orang di Bandara Soekarno Hatta. Mereka berjuang untuk mendapatkan sehelai kertas tanda terbang. Kalau banyaknya kerumunan tidak menjadi keheranan karena itu biasa apalagi belum sebulan berlalu lebaran. Tapi perjuangan mereka lebih dikonsentrasikan untuk mencukupi anggaran pengadaan tiket. Bayangkan, kalau untuk lebaran yang setiap tahun dilakukan harga tiket paling mahal dua kali harga normal. Kalau normal tiket ke Bandara Minangkabau memerlukan dua ikat uang duaribuan. Dalam keadaan lebaran harga tiket menjadi empat ikat. Namun, ampun TUHAN, baru kali ini kejadian, harga tiket memerlukan 20 ikat.
Lebih tidak masuk akal lagi, sampai di Padang, diperlukan sepuluh ribu untuk membeli satu liter bensin. Itupun belum tentu dapat jatah.
Pertanyaan lagi...Apakah betul ada pemimpin di masa kini? Apakah pemimpin sudah diganti dengan penguasa saja?
Apakah diperlukan bencana lagi untuk memakmurkan negeri ini melalui peningkatan PDB lewat harga-harga yang naik seperti badai?
Ampun TUHAN jangan tambahkan kejahatan ini di atas timbunan jasad dan puing-puing yang berserakan.

Monday, September 07, 2009

KEJUJURAN

Manusia berusaha untuk memperkenalkan dirinya sebagai orang jujur. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan membeberkan fakta dan data. Diharapkan timbul opini yang positif dari masyarakat setelah membaca fakta dan data tersebut.
Namun pembuktian diri dengan cara alibi belum cukup. Kuantifikasi proses pembuktian tersebut relatif menyesatkan karena seolah-olah hidup manusia ditentukan oleh angka-angka. Paradok dari kegiatan pembuktian adalah mudahnya mengatur angka-angka sesuai pesanan.
Pembuktian tersebut hanya bisa dilakukan untuk membuktikan kejujuran seseorang kepada orang lain.

Oleh karena itu, ada dua lagi cara untuk mengukur kejujuran seseorang yakni persidangan kepada Tuhan dan evaluasi kepada diri sendiri.
Proses kedua dan ketiga hampir sama, yaitu seseorang mau mengakui dirinya di hadapan Tuhannya dan dihadapan dirinya sendiri. Pengakuan ini dapat dilakukan bersamaan kepada Tuhan dan diri sendiri, atau dapat juga dipisahkan.
Pengukuran dengan pengakuan diri yang juga sering disebut dengan refleksi diri dianggap lebih valid dari cara pertama.
Untuk mengukur kejujuran seseorang harus meliputi 3 indikator utama yaitu jujur kepada Tuhaan, jujur kepada diri sendiri, jujur kepada orang lain.
Proses yang dilakukan sangat menentukan hasil atau kesimpulan dari tingkat kejujuran seseorang.
Apakah Anda sudah jujur total?

Monday, August 31, 2009

Sebutan Gubernur Bank Sentral

Gubernur dalam ranah perbankan merupakan pimpinan bank sentral. Gubernur Bank Indonesia dipegang satu orang. Gubernur sebagai ketua Dewan Gubernur. Dewan Gubernur adalah kumpulan anggota dewan gubernur. sebutan untuk anggota dewan disebut deputy gubernur.
Apabila dilihat sepintas, sebutan tersebut biasa alias ttidak ada masalah. Namun, perlu dikaji lagi.
Sejatinya pimpinan bank indonesia adalah dewan gubernur. Jadi dewan gubernur seharusnya kumpulan dari beberapa gubernur sebagai anggota. Faktanya anggota dewan disebut deputy., kalau mempertahankan istilah deputi tentu mereka harus dipimpin ketua.
Solusi masalah ada pada sebutan gubernur yang tidak mencantumkan kata ketua. Seandainya disebut Ketua Gubernur akan leih menggambarkan fungsi dan kewenangannya. Keputusan gubernur tidak bisa lebih kuat karena keputusan tertinggi ada pada Peraturan Dewan Gubernur sebagai hasil dari Rapat Dewan Gubernur bukan Rapat Deputi Gubernur.

Monday, July 20, 2009

LISTRIK DAN VISI KABUPATEN ROKAN HULU

Pertengahan Juli 2009, saya mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Pasir Pangaraian Kabupaten Rokan Hulu Riau. Keinginan untuk berkunjung sudah lama terpendam bahkan sudah hampir 10 tahun. Hambatan utama  selama ini adalah  transportasi. Prasarana  jalan darat  yang tersedia  relatif  buruk. Waktu tempuh yang dibutuhkan tidak kurang dari  enam jam. Bayangkan untuk kalau di Jawa, waktu tempuh selama itu sudah  menghubungkan  ujung Barat sampai ujung Timur. Ironis memang.

Perjalanan ke Pasir  kali ini saya tempuh karena  sarana jalan darat  sudah  diperbaiki. Hal itu bukan hanya promosi, tapi fakta yang patut diacungkan jempol. Perbaikan jalan tersebut  memotong waktu tempuh menjadi empat jam bahkan kalau agak ngebut  waktu tempuh bisa kurang dari empat jam. Katanya, perbaikan jalan merupakan konsekuensi dari pemekaran daerah yang menjadi Rokan Hulu sebagai Kabupaten dengan pusat pemerintah di Pasir Pangaraian.

Informasi mengenai  Kabupaten baru ini relatif terbatas. Sebelum berangkat ke Rohul sebutan yang lebih populer, saya mencari informasi tentang Rohul  melalui dunia maya. Tak disangka, informasi  Rohul  sangat  terbatas, yang mengundang tanda tanya.

Pada suatu  pagi, aku menikmati  sarapan pagi di warung  yang menyediakan lontong dan pecal serta nasi goreng. Semula niat untuk memesan lontong. Namun, "ete" yang melayani menginformasikan bahwa hari tertentu lontong tidak tersedia. Pagi ini hanya ada nasi goreng. Tanpa pikir dua kali aku memesan nasi goreng.

Menunggu datangnya pesanan, saya melihat informasi  di warung itu. Aku tertarik mengamati  sebuah tanggalan yang mencerminkan informasi Rohul. Dari halaman kalender itu, saya mengetahui bahwa Rohul memiliki visi dan misi antara lain Menjadi Kabupaten Teladan 2018. Aku kaget  karena tidak percaya. Keheranan saya spontan muncul  karena  kata teladan dan 2018. Sekarang 2009 kurang setengah tahun. Berarti  sisa waktu tersedia untuk mencapai visi dan misi itu tinggal kurang dari sembilan tahun. Apakah  sasaran itu tidak kelewat percaya diri  atau  sekedar  jualan politik saja?

Menjadi teladan bukan berarti  harus memiliki waktu  berpuluh-puluh tahun. Namun menjadi Kabupaten teladan juga tidak bisa  menuangkan  rencana dalam kertas  dan jadilah sesuai dengan perkataan (power of speech). Mari kita lihat masalah yang membentang.

Suatu pagi, saya diberitahu teman bahwa  dia  telah mendapat  sebuah  bangunan untuk dijadikan tempat usaha. Hal yang paling sulit didapat untuk  usaha itu adalah  listrik. Di Pasir, dia menuturkan, sangat lazim orang  menjadikan  meteran listrik   sebagai agunan. Nilainya cukup  lumayan, puluhan juta rupiah. Saya semula kurang percaya, tapi dengan fakta dan bukti yang dipaparkan saya  percaya  sambil heran. Seumur hidup, saya baru pertama kali mendengar  fasilitas umum sebagai jaminan. Apakah ini yang disebut  lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya?

Selama saya berkeliling di daerah Rohul, memang  mata memandang setiap  usaha  apakah toko  kebutuhan rumah tangga atau  rumah makan, selalu memiliki  generator sendiri. Ini mengindikasikan  bahwa cerita teman saya itu benar adanya. Listrik tidak mudah  diperoleh di Rohul.  Anehnya, penerangan jalan umum  relatif  bagus.

Keanehan lain adalah  belum tersedianya  prasarana  air minum. Hal ini menyebabkan setiap  rumah dan atau toko, selalu memiliki  sumur sendiri. Sudahlah pasti, bahwa  kelancaran sumur tergantung pada listrik. Oleh karena listrik terbatas,maka bak-bak  mandi diisi dengan tenaga alami alias ditimba.

Listrik dan air, merupakan  benda keramat  dalam memajukan  kehidupan. Pada masa modern ini, tidak ada satu kelompok masyarakat di belahan bumi manapun yang dapat mencapai kemajuan yang pesat tanpa dukungan lisrik dan air. Tanpa listrik  mustahil bagi para pelajar  meraih  prestasi yang baik. Bagaimana tidak, belajar di kelas memerlukan listrik. Apalagi untuk mendukung  pelaksanaan praktikum. Demikian juga halnya  di rumah, anak-anak memerlukan waktu belajar untuk mendalami  materi pelajarannya. Kalau listrik tidak tersedia, mustahil bagi  para anak didik  bisa  belajar di rumah  pada malam hari.

Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, dipastikan bahwa  prestasi  pelajar dari Rokan akan menurun bahkan jauh ketinggalan  dari dunia luar. Hidup tanpa listrik  ibarat  hidup dalam sebuah isolasi peradaban. Dampak signifikan kelangkaan listrik  juga   berimbas pada  sektor ekonomi, politik, keamanan dan kebudayaan. Jadi  tanpa listrik  mustahil  daerah  bisa mewujudkan visi dan misi.

Barangkali  visi dan misi yang  harus diutamakan adalah  menjadikan Rohul sebagai  Kabupaten yang  hemat energi tapi bukan tanpa energi. Pemda Rohul menyediakan listrik dan air yang memadai untuk mengembangkan usaha dan masyarakat  dengan pegawasan  agar  penggunaan sesuai peruntukan. Selain itu, visi dan misi yang perlu dikembangkan adalah menjadi  kota hijau alias  green city.

Sebagai  daerah yang baru, menjadi  green area, relatif lebih mudah.  Konsep tata kota tidak meniru  kota lain yang selalu dipenuhi  gedung bertingkat dan mall. Hendaknya  pembangunan kota tidak disamakan dengan membangun  mall atau  gedung tinggi.  Meskipun  mewujudkan  sebuah green area, namun kembali kepada kebutuhan mendasar  listrik dan air  harus didahulukan. Dalam membangun green city sekalipun, listrik dan air menjadi kebutuhan utama.

Jadi apapun visi dan misi yang akan dicapai, penuhi dulu saranan vital seperti  listrik, air dan jalan.

 

Tuesday, June 30, 2009

PENJAJAHAN DALAM BUNGKUS GLOBALISASI

Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias (http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi)
Masih mengekor pada situs tersebut di atas, globalisasi belum memiliki arti definisi yang mapan.
Istilah globalisasi semakin tersiar mengikuti peristiwa kegagalan ekonomi Amerika Serikat. Tersiar luas karena sudah disebut globalisasi. Jadi tidak perlu didefinisikan lagi batasan wilayah siarannya. Global berarti seluruh wilayah globe (baca: dunia). Istilah global awalnya diperkenalkan sebagai hal-hal yang positif terutama menyangkut perkembangan teknologi. Belakangan hal ini tidak dapat dibatasi karena istilah global dikawinkan pula pada hal-hal yang negatif seperti krisis global.
Setelah mengamati dan merenungkan proses penggelindingan globe dalam istilah yang dipakai dalam semua aspek, muncul kecurigaan terhadap globalisasi ini. Bayangkan globe menggelinding tanpa batasan ruang dan waktu. Hal itu mengisyaratkan globe bebas bergerak ke mana saja dan kapan saja. Kalau globe membawa kabar baik bagi pewaris bumi globalisasi menjadi harapan besar. Namun faktanya, globalisasi juga mengelindingkan ancaman dalam bentuk kerugian dan atau kemerosotan bumi. Pokoknya seram.
Globalisasi menjadi menarik karena dari asalnya, globalisasi hampir tidak pernah bergulir dari negara yang miskin atau sedang berkembang ke negara kaya atau raksasa. Kecenderungannya adalah dari yang besar kepada yang kecil. Analoginya adalah ibarat bola salju yang dibentuk dari atas puncak, menggelinding ke bawah dan semakin rendah wilayah yang akan dituju, maka makin deraslah arus bola ke wilayah itu. Kecepatan bola akan menghasilkan energi gerak yang mampu menghacurkan benda di wilayah yang lebih rendah. Yang lebih tragis lagi, globalisasi ke bawah tidak bisa dibendung sedangkan aliran bola ke atas tidak dimungkinkan.
Jika globalisasi membawa kabar baik, maka dampaknya ke negara bawah tidak terlalu signifikan. Namun jika globalisasi berisi hal-hal yang buruk, dampak buruknya akan berakselerasi bahkan berkembang biak ke negara bawah.
Dari sisi konten, globalisasi tidak pernah mengandung hal-hal yang natural. Kecendrungan isinya pada kemajuan teknologi.
Negara-negara besar melakukan banyak hal seiring dengan kemajuan teknologi. Selain untuk dinikmati sendiri, dampak dari kemajuan teknologi dan kebutuhan berinovasi berbanding lurus dengan biaya yang dikeluarkan untuk itu. Apabila biaya hanya ditanggung negara tersebut, maka dapat dipastikan bahwa ke depan beban negara tersebut akan meningkat dan semakin lama semakin besar sesuai dengan kemajuan teknologi. Hal itu akan terjadi karena sumber daya dan ruang yang dimiliki negara itu akan semakin kecil diperhadapkan terhadap semua kemajuan yang dialami.
Untuk menghindari beban berat di masa yang akan datang, maka negara-negara besar merencanakan pembagian biaya kepada negara-negara lain terutama negara yang memiliki sumber daya dan ruang. Tentu saja, sasaran pengalihan biaya itu adalah negara miskin dan berkembang yang belum mengeksploitasi sumber daya dan ruang. Pengalihan biaya itu sering muncul dalam bentuk kerjasama antar negara yang berbendara investasi.
Merenungkan proses globalisasi tersebut, kita dibawa pada suasana sejarah abad 18.
Kebanyakan negara-negara di Eropa melakukan pencarian terhadap tanah baru demi meluaskan areal pertanian dan pertambangan untuk memenuhi kebutuhan rakyat di negaranya. Proses pencarian daerah baru disebut kolonisasi yang dalam pelajaran kewarganegaraan menjadi penjajahan.
Apabila diperbandingkan motif dari pencarian tanah dan pengalihan biaya, maka tidak jauh beda bahwa globalisasi adalah penjajahan.
Penjajahan terhadap sumberdaya di negara miskin dan sedang berkembang untuk diekploitasi dan dibawa ke negara besar asal. Selanjutnya nilai tambah dari proses globalisai itu hanya akan memberikan tambahan energi untuk melakukan globalisasi yang lebih besar.
Adakaha negara bawah yang mampu bertahan? Seperti gelinding bola salju, mungkin tidak ada yang dapat menahan secara permanen gelinding globalisasi. Namund tidak menutup kemungkinan melakukan penahanan dalam jangka waktu yang lebih lama sampai energi dorongan globalisasi mereda bahkan sirna.
Dalam strategi permainan khususnya permainan perang seperti pertandingan bola, strategi bertahan adalah sikap bunuh diri. Satu-satunya strategi yang lebih bertahan adalah menyerang. Mungkinkan negara bawah menyerang negara atas? Secara terminologi sangat dimungkinkan dengan cara memunculkan istilah reglobalisasi. Hal yang perlu dilakukan adalah mendemonstrasikan hal-hal yang bersifat natural yang menjadi kekayaan negara bawah kepada globalisasi negara besar. Naturalisai ini akan menggulung energi global karena kekuatan naturalisasi lebih besar.
Pengalaman Mahatma Gandhi menjadi contoh yang nyata.
Oleh karena itu, globalisasi harus diperangi dengan kearifan lokal yang dimiliki setiap negara.

Thursday, June 25, 2009

JARGON CALON PRESIDEN

Semaraknya pemilihan calon presiden Indonesia 2009 mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dilihat dari penggunaan kata dalam debat, iklan maupun komentar baik melalui media cetak, televisi bahkan online, maka kata "rakyat" menjadi primadona.Mengapa?
Semua calon mau mengambil simpati dan empati dari rakyat. Harapannya rakyat mau memilih sang calon menjadi bosnya lima tahun ke depan. Aneh juga, rakyat yang selama ini selalu di bawah, seolah-olah menjadi majikan dari calon majikan. Proses majikanisasi ini berulang ulang setiap pemilihan presiden di mana pun.
Sayangnya secara jujur, dalam transaksi pihak calon dan rakyat untuk mendapatkan posisi majikan ini, sudah dapat ditebak pihak rakyat sangat lemah.
Rakyat memberikan seluruh kepercayaannya yang bahkan sama dengan kepercayaan kepada Tuhannya kepada calon. Penyerahan total. Tetapi marikita lihat, apakah yang diberikan calon? Hanya jargon titik.
Oleh karena itu, setelah calon dipilih menjadi majikan, maka jargon tinggal kenangan, kehidupan rakyat berlanjut dan berlalu menunggu datangya lima tahun lagi untuk menerima jargon baru.
Dari tiga calon presiden 2009, ada 2 jargon yang sering muncul walaupun tidak menggunakan kata rakyat. Mungkin takut kualat atau terjerat janji.
Ada jargon "lanjutkan". Sementara ada lagi "lebih cepat lebih baik".
Entah disengaja atau tidak, jargon tersebut menjadi pertentangan yang menarik dalam kelakar masyarakat.
Seorang teman roker alias langganan kereta mengajak supaya mendukung program lanjutkan. Tapi dikomentari oleh roker lain, apakah masih bisa dilanjutkan kalau tidak cepat dan lebih baik? Komentar tersebut menjadi menarik karena dua teman saling mempertahankan dan mengajukan jargon yang dipegang.
Padahal kalau berbalik ke fakta sejarah, hampir mustahil ada untungnya atau manfaatnya memperjuangkan jargon dan pencetus jargon. Semua berlalu seiring lewatnya sang waktu.
Aku sendiri merenungkan komentar teman-teman tersebut dalam perjalanan di kereta. Apa sebetulnya yang dapat dipegang dari jargon itu? Kalau mau hitungan kasar, lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya bagi rakyat. Mengapat tidak? Yang pasti jargo lebih sebagai ajang adu mulut bahkan adu otot, dibandingkan memberi kekuatan fisik dan rohani kepada rakyat. Belum lagi niat dari jargon bukan untuk dijadikan pegangan bagi pemilik maupun penerima sekaligus pemegang jargon itu.
Lalu untuk apa memori rakyat direcoki jargon itu? Apakah perlu dilanjutkan jargon itu meskipun lebih cepat dan lebih baik? Apakah calon tanpa jargon lebih berguna?

Saturday, June 13, 2009

MENCAPAI KARIR MENATAP RESIKO

 

Sebagai profesional, seseorang dituntut menyelesaikan tugas yang diemban. Tugas lebih sering datang dari atasan atau dari instansi majikan. Sebagai bawahan atau mitra kerja, melaksanakan tugas yang diminta tidak sulit. Permasalahan utama adalah apakah kita mau melakukan perintah yang diminta atasan atau siapapun  dengan mengorbankan pilihan-pilihan yang  selama ini kita bangun (baca : karir)?.

Seorang  manajer level menengah misalnya, pastilah sudah menghitung hari dan beban yang akan dijalani untuk mencapai   tangga karir yang lebih baik, puncak manajer. Tentu saja untuk mencapai  cita-cita tersebut, sang manajer tidak  cukup dengan belajar dan bekerja keras. Persoalan utamanya adalah apakah dia akan tergelincir pada saat meniti  jalan yang ada di depan?  Masalah ini juga dihadapi seorang perwira menengah yang  bercita-cita untuk menjadi Panglima. Secara potensi baik manajer maupun perwira memiliki  modal yang lebih dari cukup untuk sampai ke puncak karir mereka. Tapi faktanya, banyak yang tidak sampai bahkan melorot ke bawah jabatan semula. Apa penyebabnya?

Dalam dunia karir, seseorang yang ambisi untuk mencapai puncak tentu saja sudah mengedepankan faktor-faktor  yang menunjang keberhasilan. Baik manajer maupun perwira  faktor yang paling utama adalah atasan mereka. Di belahan dunia manapun dan di sektor apapun, atasan merupakan kunci keberhasilan bawahan.  Barangkali semua mengamini kata bijak lama "Jangan melupakan  mentormu". Setiap manajer akan berusaha jatuh bangun untuk mewujudkan keinginan atasan. Sang perwira   juga akan memasang badan demi memenangkan hati komandan.

Keinginan atasan  manajer sering disebut perintah. Untuk memastikan mitra kerja maupun bawahan, manajer tidak jarang mencatut bahwa  proyek ini  merupakan perintah bos. Bagi perwira juga  akan melakukan jurus yang sama, ini perintah komandan.  Meskipun menggunakan perintah sebagai  kata kunci, namun penerapan dan implikasinya bisa berbeda bagi si manajer dan perwira. Untuk membedakan maksud perintah, selanjutnya perintah dipakai untuk dunia manajer, sedangkan order dipakai untuk dunia perwira.

Apabila  manajer menerima perintah, manajer  harus mencari rujukan dan rekomendasi untuk meyakinkan bawahannya bahwa  mereka sedang berjalan pada arah yang benar. Bahkan manajer  merasa perlu untuk mengulang-ulang bahwa perintah  tersebut merupakan instruksi dari atasan mereka. Dalam menjalankan perintah itupun, sang manajer harus menguasai  teknik berkomunikasi, negosiasi untuk menghadapi komentar bahkan kritik bawahannya.  Sementara, seorang perwira yang menerima  order dari atasan, cukup sekali mengatakan bahwa ini order komandan. Anak buah perwira tentu serempak menjawab siap laksanakan.

Hasilnya, pekerjaan manajer dapat dicapai dengan negosiasi, perdebatan sedangkan perwira menyelesaikannya tanpa hal-hal yang  kontraproduktif dari bawahan. Dari indikator tersebut, hampir dipastikan bahwa  perwira akan lebih baik menyelesaikan order karena lebih cepat. Jika demikian adanya, mengapa manajer tidak mengadopsi  gaya  order perwira untuk menyelesaikan  perintah tersebut?  Selain lebih cepat, tentu akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan.

Hal tersebut sangat tergantung pada implikasi. Seorang manajer berusaha untuk meyakinkan bawahan dan mitra kerja dengan alasan bahwa selain membagikan tanggungjawab, dia juga sedang membagikan resiko yang dimiliki tugas tersebut. Sedangkan perwira tidak perlu "berbusa-busa" untuk berbagi  resiko karena dalam dunia perwira tanpa ada tugas pun mereka sudah menanggung resiko. Hal lain,  resiko selalu berada pada pemberi perintah - sang komandan. Meskipun dalam faktanya sang komanda ada yang menghianati  dirinya sendiri dengan membantah  bahwa dia pernah mengeluarkan sebuah order.

Bagi manajer akan melakukan perintah yang diberikan padanya dalam bentuk tertulis. Sehingga begitu perintah itu diberikan maka  atasan  secara  faktuil sudah menyatakan bahwa resiko berada pada atasan sepanjang perintah dilakukan tidak menyimpang. Namun bagi perwira, order tidak lazim dituangkan dalam tulisan karena kebiasaan di lapangan dimana tidak memungkinkan mengeluarkan  order dengan tulisan sedangkan resiko yang dihadapi sudah di depan hidung. Sebagaimana dikemukakan seorang "para komando" bagi seorang perwira hanya ada 2 (dua) sikap menerima order; pertama, siap laksanakan, atau kedua mundur dari jabatan.

Dari uraian tersebut di atas, seolah-olah  perwira akan diuntungkan dalam proses pelaksanaan, sedangkan  sang manajer akan lebih aman dari sisi implikasi atau  resiko yang dihadapi.

Apabila terjadi dampak dari order yang tidak sejalan dengan kepentingan publik maka perwira akan menghadapi sendiri resiko karena tidak bisa menunjukkan bahwa  dia mendapat order dari komandan. Order dalam dunia perwira  sudah identik dengan   fatwa atau bahkan sabda. Artinya, seorang prajurit tidak mungkin melakukan tindakan (operasi) tanpa order dari atasannya. Anehnya, dalam persidangan sebuah kasus, seorang prajurit sering dituduh melakukan tindakan (operasi) sendiri dan harus bertanggungjawab sendiri.

Berbeda halnya dengan manajer yang menghadapi tuduhan dalam persidangan. Apabila manajer mampu menunjukkan bahwa ada perintah dari atasan dan manajer dan mitra kerjanya tidak menyimpang dari perintah itu maka dia tidak bisa dituduh bertanggungjawab sendiri. 

Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa persidangan manajer lebih banyak terjadi disebabkan karena dia menjalankan tugas dan tidak  bisa membuktikan bahwa atasan memberikan perintah. Dengan kata lain, manajer akan berhadapan dengan persidangan jika dia mengadopsi  gaya order perwira. Mengapa bisa terjadi? Faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk mencapai puncak adalah akselerasi atau kecepatan perjalanan karir. Untuk lebih cepat mencapai puncak, manajer  terlena dengan kecepatan yang dikendalikannya tanpa sadar bahwa dia masih memiliki atasan. Artinya secepat apapun dia mengemudikan karirnya mash ada atasan yang menentukan arah perjalanan. Tantangan terberat manajer adalah menuruti atasan tapi tidak menyimpang dari arah (visi). Jika diperhadapkan pada dua pilihan, atasan atau arah maka seorang manajer harus memikirkan resiko yang akan dihadapi. Kalau memilih atasan, jalan menuju puncak lebih cepat, tapi resikonya tidak lama bertahan di tahta. Sedangkan kalau memilih arah, maka  tahta mungkin tidak tercapai tapi reputasi yang selama ini dibangun masih bisa dipertahankan bahkan menjadi  modal untuk perjalan selanjutnya. Bagi manajer yang sudah hampir mencapai puncak, menghitung resiko tersebut sudah lazim dibuat, bahkan hitungan itulah yang menyelamatkan dan menghantar dia sampai ke ambang puncak. Tapi di ujung perjalanan sering kali  tidak introspeksi karena  tidak selamanya  formula  yang dilakukan selama ini manjur untuk segala jaman. Waktu yang sudah cukup lama bersama dengan atasan dan realitas di belakang selalu menjadi  rekomendasi manajer untuk maju sekaligus juga tergelincir. Sulit sekali membedakan pilihan yang benar antara atasan atau arah.

Tips

Sebelum terlanjur bergantung pada faktor luar saja, manajer atau perwira harus memiliki hati nurani yang murni. Memiliki tidak cukup. Perlu melatih dan mengasah  dengan mendengarnya. Persidangan yang sesungguhnya terjadi setiap saat ketika manajer atau perwira mendengar nuraninya. Kemurnian hati nurani akan menentukan ketajaman nurani itu sendiri. Memurnikan hati nurani  adalah perjalan panjang sejak lahir. Hati nurani  yang murni hanya muncul dari sebuah  pengudusan dari duniawi (dosa).  Dosa hanya dapat disucikan dengan darah Anak Domba Allah. Masalah yang  tidak pernah disadari adalah  manajer dan perwira tidak percaya pada Anak Domba pemberi Jalan Lurus.

 

Monday, June 08, 2009

Generasi Entertain

Entertain merupakan kata yang paling digemari kalangan remaja dan pemuda. Tanpa melihat latar belakang ekonomi, semua remaja keranjingan untuk masuk dalam komunitas entertain. Pengaruh entertain bagi generasi muda tidak sekedar jargon atau prokem alias bahasa gaul. Entertain sudah menjadi gaya hidup bahkan tujuan hidup. Mari kita tanyakan anak-anak remaja di sekitar kita. Mereka pasti lebih memilih membeli gadget dibandingkan membeli buku sekolah. Gadget yang disebut HaPe, tidak cukup dengan kapasitas fungsi utama sebagai alat komunikasi. HaPe remaja kini minimal memiliki alat foto, pemutar musik bahkan memiliki kemampuan internet.

Menjadi pertanyaan, apakah yang dicari dari kecanggihan gadget tersebut? Jawabnya adalah tren dan tidak lebih dari entertain. Musik favorit menjadi ringtone. Artis idola menjadi penghuni folder masing-masing. Segala petuah kuno yang mengajak mereka hidup dengan akar keagamaan yang kuat mulai digeser dengan pesan singkat teman. Orang tua banyak yang frustasi karena anak-anaknya lebih percaya iklan daripada kasihnya.
Yang tidak kalah seru, generasi ini ingin menjadi seperti idolanya. Sayang yang paling jawara sebagai idola adalah para artis. Lebih sayang lagi, para artis tersebut lebih banyak yang dililit persoalan daripada yang menang dalam persoalan. Paling disayangkan, persoalan para idola dipercayakan pada duni hitam atau dunia gemerlap.

Belajar masih dilakoni, tetapi brain memori sudah semakin diisi fantasi dan informasi enterteiner sehingga porsi memori untuk merenungkan dan melakukan ilmu alam semakin berkurang. Spirit generasi ini sudah bergeser dari tunas melati bangsa menjadi reinkarnasi showbiz dan advertise. Jangan tanya siapa nama menteri yang bertanggung jawab untuk usaha mikro. Jangan juga ditanya menteri yang mengurusi Nusantara Timur. Konon, mereka sendiri tidak pernah tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Lalu bagaimana nasib kelanjutan bangsa dan negara ini? Belajarlah entertain. Buatlah entertain menjadi jembatan komunikasi yang menghantar generasi kepada keluhuran hidup masa depan.

Friday, May 29, 2009

Noel - Majesty

Majesty...Majesty unto Jesus

Wednesday, May 27, 2009

DUA LEBIH BAIK DARI SATU

Two are better than one,     because they have a good return for their work:   If one falls down,     his friend can help him up.     But pity the man who falls nd has no one to help him up!

Kalimat bijak tersebut merupakan pedoman  hidup yang sudah teruji dari  masa ke masa. Contoh yang paling klasik adalah rumah tangga-keluarga. Keluarga dibangun dari  dua orang terdiri dari satu laki-laki dan satu perempuan.  Bahkan dalam diri manusia itu sendiri  banyak anggota tubuh yang terdiri dari 2 elemen. Sebut saja otak, mata, telinga, hidung, tangan, paru-paru, payudara, kaki. Fungsi sepasang organ-orang tersebut akan lebih baik dibandingkan dengan jika salah satu terganggu.

Dalam peradaban yang lebih modern, pedoman tersebut di atas semakin luas dan lebar merambat memasuki hampir seluruh  aspek dalam masyarakat, bangsa bahkan negara. Dalam tatanan masyarakat selalu  ditampilkan pimpinan masyarakat yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua. Demikian pula dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, pemimpin seperti Presiden selalu diduakan oleh Wakil Presiden.

 

 

Saturday, May 23, 2009

CALON PRESIDEN 2009

Pendaftaran kandidat Presiden-Wakil Presiden telah selesai. Dari beberapa figur yang direlease partai-partai, tingga 3 pasang yang resmi sebagai kandidat. Mereka adalah 1)JK-Wiranto: 2)SBY-Boediono; 3)Mega-Prabowo. Tugas pertama yang telah dilakukan para kandidat adalah menyampaikan vis-misi pasangan dalam memimpin nusantara 5 tahun kedepan.Lewat kanal televisi, pemaparan visi-misi berlangsung maraton tiga hari berturut-turut yang dimulai pada hari Rabu 20 Mei 2009. Peserta awal adalah pasangan JK-Win, namun audisi tersebut tidak mengikutsertakan Wiranto. Hari kedua, yang bersamaan dengan hari libur nasional merupakan giliran SBY. Hari ketiga, yang jatuh pada hari Jumat, giliran Mega. Berbeda dengan 2 kandidat, Mega memakai kesempatan audisi untuk memperkenalkan calon Presiden Prabowo.
Penentuan hari dan giliran kandidat masih misteri, terlebih jika dikaitkan dengan sejarah dibalik hari-hari yang ditetapkan. Untuk peserta pertama tentu memiliki keunggulan tersendiri karena jatuh pada tanggal 20 Mei. Bagi bangsa Indonesia, tanggal 20 Mei memiliki arti yang keramat, sehingga ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Peserta kedua, dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 2009, yang merupakan hari libur internasional, umat Kristiani merayakan kenaikan Tuhan Yesus Kristus. Peserta ketiga, yang jatuh pada hari Jumat, yang merupakan hari yang sakral bagi umat Islam.

Seandainya peserta audisi dan pemirsa yang turut mengikuti acara tersebut yang diberikan mandat untuk menentukan pemenang seperti pelaksanaan Indonesian Idol, maka dapat dipastikan kandidat pertama akan menjadi pemenang. Selain ditopang momentum peringatan kebangkitan nasional, kandidat bisa membuktikan bahwa dia seorang yang melakukan sesuai perkataan. Kandidat hadir dalam penampilan yang sederhana dan bahasa yang lugas.
Sayang, kontes tersebut bukan Indonesian Indol atau American Idol atau sejenisnya yang lebih merupakan domain hiburan. Kontes tersebut belum menentukan siapa pemenangnya. Pemenang sesungguhnya ditentukan pada hasil contrengan yang paling banyak diraih kandidat pada tanggal 8 Juli 2009.
Patut disayangkan, pemaparan vis-misi kandidat pemimpin bangsa ke depan itu disamakan dengan acara hiburan. Lebih disayangkan lagi, acara itu merupakan siaran ulang dan penuh dengan interupsi pihak lain (advertising). Apakah hal ini juga sudah menjadi hal biasa atau karena terpaksa, tergantung kocek? Dugaan kuat, alasan utama karena kocek alias dana. Ironis, visi-misi kandidat pimpinan nasional yang akan menentukan nasib bangsa ke depan sudah dilumuri mashab kocekis - kapitalis.

Dari pemaparan semua kandidat, bobot ekonomi sangat mendominasi. Kandidat pertama dan ketiga kental dengan konsep ekonomi mandiri. Ekonomi diberdayakan dari kekuatan, potensi, dan keterampilan bangsa ini. Mimpi? Bukan. Mereka membeberkan beribu macam bukti bukan janji kemandirian anak-anak bangsa. Bahkan satu kandidat dengan yakin meuturkan, kemandirian itu dapat dikerjakan oleh rakyat kalangan wong cilik bukan hanya kaum entepreneur.
Pemaparan dua kandidat sekaligus menjawab perdebatan yang sedang terjadi di bilik lain, neoliberalisme lawan kerakyatan.

Seorang berpendapat bahwa dia tidak setuju ekonomi kerakyatan karena tidak pernah ada dalam teori. Awalnya, opini doktor ekonomi tersebut dapat dimaklumi karena demikianlah adanya. Namun, patut menjadi kebanggaan karena inilah saatnya melahirkan mashap ekonomi baru yaitu ekonomi kerakyatan. Ekonomi yang tidak menolak kocekis, tapi mendahulukan energi dan sinergi rakyat. Ekonomi yang dibangun dengan memberikan kesempatan kepada rakyat sebelum menghakimi rakyat dengan sloga tidak mampu. Ekonomi yang dibangun dengan sistem perbankan yang tidak mengutamakan jaminan kredit, tapi lebih melihat kepada kesungguhan rakyat untuk memperbaiki diri.
Teori memang sudah diuji, tapi membangun sebuah negeri tidak kokoh dengan landasan teori. Terobosan salah satu kunci penting yang akan melahirkan teori baru.
Rakyat dan spirit kegotong royongan sudah terbukti berjaya menghempaskan kapitalis pada masa Indonesia merebut kemerdekaannya. Ekonomi rakyat bukan teori tapi bukti.

Monday, May 18, 2009

SISI LAIN KEUNIKAN (KANDIDAT) GUBERNUR BI 2009

Boediono adalah Gubernur Bank Indonesia yang relatif unik. Sejak dicalonkan Presiden, baru era Boediono terjadi penolakan DPR terhadap calon Gubernur Bank Indonesia yang diusulkan Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono - SBY). Penolakan DPR, membuat SBY harus mengeluarkan jurus pamungkas dengan memberikan Boediono sebagai calon tunggal menuju kursi Gubernur. Dalam pit dan proper test kepada Boediono, hampir semua anggota DPR di Komisi XI tersihir dengan pesona Boediono. Hampir semua anggota Dewan yang menjadi penguji, bermufakat untuk menerima calon tunggal. Jadilah Boediono mendapat mandat memimpin Bank Indonesia periode 2008 - 2013.
Resminya Boediono dilantik sebagai Gubernur Bank Indonesia pada tanggal 22 Mei 2008.

SBY menggandeng Boediono sebagai pasangan dalam kontes panggung politik menuju Presiden-Wakil Presiden periode 2009 -2014. Deklarasi yang digadang Partai Demokrat dan koalisinya pada tanggal 15 Mei 2009, menjadi sejarah baru bagi Boediono untuk berkarya di luar jalur profesi yang selama ini digeluti. Untuk lebih fokus pada dunia persilatan yang baru itu, Boediono menyatakan siap bekerja sejak deklrasi Capres-Cawapres dan menyatakan mengundurkan diri dari Gubernur Bank Indonesia.
Kalau pengunduran Boediono ditandatangani sejak 17 Mei 2009, keunikan Boediono adalah mungkin satu-satunya Gubernur Bank Indonesia yang mengundurkan diri sebelum 1 tahun. Bahkan menjadi orang pertama yang menorehkan sejarah Indonesia bahkan sejarah Dunia, seorang Gubernur Bank Sentral menuju kursi Wakil Presiden.

Pengunduran Boediono memberikan lowongan di kursi yang sangat prestise, bergengsi dan panas itu. Siapakah Gubernur Bank Indonesia berikutnya, menjadi pertanyaan hampir semua orang baik kalangan rakyat, mahasiswa, elite partai bahkan anggota Dewan sendiri.
Tanpa merasa lebih tahu dari pengambil keputusan yang berwenang menetapkan Gubernur Bank Sentral berikutnya, tulisan ini mengajak untuk melihat keunikan-keunikan lain dari Gubernur Bank Indonesia.

Kalau dilihat dari initial nama, Gubernur Bank Indonesia sejak orde Baru dimulai dengan R. Periode berikutnya juga dimulai dengan R.
Setelah periode R selesai, Gubernur Bank Indonesia berturut-turut dipegang oleh A dan A. Sehabis periode A dan A, muncul nama yang juga berturut-turut dengan initial sama yaitu S dan S. Era S dan S dilanjutkan dengan dua initial yang sama berturut-turut yaitu B dan B.
Dari urutan initial nama tersebut, terdapat keanehan karena seperti memiliki pola yang simultan. Dimulai dari R, kemudian melompat ke A. Setelah periode A, dilanjutkan dengan S yang merupakan abjad setelah R. Demikian pula, setelah S berakhir dilanjutkan dengan initial B yaitu abjad setelah A.
Kalau mengikuti pola tersebut, periode selanjutnya adalah initial setelah S yaitu T.
Namun perlu diingat juga kelemahan pola itu ada pada periode B dimana B terakhir tidak penuh 5 tahun. Apakah hal tersebut memunculkan pola baru?

No. Nama Dari Sampai
1. Radius Prawiro 1966 1973
2. Rachmat Saleh 1973 1983
3. Arifin Siregar 1983 1988
4. Adrianus Mooy 1988 1993
5. Sudrajad Djiwandono 1993 1998
6. Syahril Sabirin 1998 2003
7. Burhanuddin Abdullah 17 Mei 2003 16 Mei 2008
8. Boediono 17 Mei 2008 17 Mei 2009
9. ?????
(Wikipedia Indonesia)

Dari kandidat yang tersedia di pasar, nama-nama calon potensi adalah A,C, D, G, H, M,R,S.
Kalau mengikuti pola tersebut, maka kandidat C,D,G,H,M, masuk nominasi sedangkan R dan S sudah pernah sebelumnya. Dalam pola tersebut belum pernah terjadi pengulangan nama setelah dua periode selanjutnya.
Lantas, bagaimana dengan nama T yang mengikuti pola tersebut? Logikanya, kalau T tidak dimungkinkan mengingat kandidat T belum ada, berarti pola tersebut tidak dapat dipertahankan. Lalu siapa yang akan menjadi kuda hitam?

Selain pola tersebut, terdapat pola lain yang sudah diterapkan pada pencalonan 2 Gubernur sebelumnya yaitu calon adalah mantan Menteri Perekonomian. Sebagaimana diketahui, Burhanuddin Abdullah dan Boediono adalah mantan Menteri Perekonomian sebelum ke kursi Gubernur Bank Indonesia.
Kalau pola ini yang dilanjutkan, maka S akan menjadi kandidat. Tapi ada sedikit halangan mengingat yang bersangkutan bukanlah murni Menteri Perekonomian karena saat ini hanya merangkap saja.

Peta lain yang dapat ditelusuri adalah dari 8 mantan Gubenur tersebut, 5 diantaranya merupakan kandidat internal Bank Indonesia. Bahkan 3 Gubernur terakhir merupakan internal Bank Indonesia. Apakah ini akan menjadi pola yang akan menjadi pertimbangan final?
Apabila pola ini yang dipilih tentu C,H,M akan menjadi dominan. Kalau dilihat dari "kesaktian" jawara tersebut, masing-masing sudah memiliki dan pakar dalam jurus monetery based. Tapi sebagai sebuah institusi bank sentral, monetary based tidak cukup. Bank sentral memerlukan jurus banking dan jurus payment dan terutama leadership. Kalau melihat kompetensi Deputi Gubernur Senior- DGS yang baru terpilih yang major pada jurus moneter, maka pemilik jurus banking dan payment akan menjadi keunggulan ekstra.
Apabila jurus non moneter dan leadership ini yang menjadi indikator terakhir maka M yang memiliki jejak rekam yang sudah diterima baik pasar eksternal maupun internal akan layak dipertimbangkan.

Semoga M ataupun temannya yang akan menjadi Gubernur Bank Indonesia berjanji kepada TUHAN bahwa dia akan memberikan dedikasi hanya untuk memenuhi panggilan TUHAN bukan panggilan manusia atau partai. Be a true "leader - leadest".
Semoga.

Tuesday, May 12, 2009

MAY BLESSING (TUAH BULAN MEI)

Mei adalah satu dari 12 bulan kalender yang merupakan bulan kelima. Dari kata asing May bukan saja berarti bulan Mei, tapi juga bermakna bisa atau ekspresi sebuah harapan (blessing).

Secara umum orang sependapat tidak ada yang terlalu istimewa pada bulan Mei. Sebagian orang memberikan makna biasa saja menyikapi datangnya bulan Mei. Segelintir mahasiswa menjadikan bulan Mei sebagai peringatan untuk mengenang 11 tahun peristiwa yang menewaskan mahasiswa dalam tragedi Semanggi. Bahkan tidak satu kelompokpun yang merayakan kejatuhan rezim yang sudah bercokol di republik ini, yang terjadi bulan Mei. Kalau melihat ke belakang, betapa banyak orang maupun kelompok yang mengharapkan peristiwa kejatuhan rezim ini. Alasan sederhana, karena manusia selalu menyukai perubahan. Dan ketika itu terjadi di bulan Mei, relatif nyaris tak terdengar gaungnya. Bukankah budaya kita lazim mensyukuri terwujudnya sesuatu yang dicita-citakan? Apakah berlebihan bila Mei juga merupakan blessing bagi politik bangsa ini? Apakah para pengharap kejatuhan rezim ini berubah pikiran setelah menghadapi hari-hari selanjutnya? Misteri.

Bagi ranah perekonomian, bulan Mei merupakan satu sejarah tersendiri mengingat pada bulan Mei 10 tahun silam, bangsa ini memberikan independensi kepada lembaga bank sentral. Independensi ini menjadi buah bibir karena tidak terbatas pada organisatoris seperti lembaga lain, bank sentral merupakan lembaga independen penuh. elemen bangsa dan masyarakat sempat menuding bank sentral menjadi sebuah negara dalam negara dengan status independen tersebut. Mei kali ini merupakan blessing tersendiri bagi bangsa ini.

Beberapa kilas balik peristiwa tersebut merupakan sejarah yang telah berlalu 10 tahun lalu. Bagaimana dengan Mei tahun 2009?
Dalam ranah politik, bulan Mei tahun ini menjadi penentu siapa yang menjadi penghuni kursi-kursi parlemen. Dalam waktu yang sama, bulan Mei ini akan dikenang sebagai buruknya kontes demokrasi di republik ini. KPU akan diajukan ke mahkamah, bukan karena KPK seperti dulu, tapi karena semerawutnya pelaksanaan pemilihan legislatif. Namun dibalik itu, bulan Mei ini terjadi keanehan yang luar biasa dalam politik. Dua partai politik yang sudah resmi menjadi rival dan sudah bermusuhan selama 1 periode pemerintahan, tiba-tiba memunculkan sandiwara RUJUK dalam bahasa koalisi. tidak berlebihan juga ini disebut May blessing, karena sudah biasa dalam budaya kita, lebih suka perkoncoan daripada perdebatan. Bersatunya dua musuh.
Masih ada satu blessing yang "terulang" bagi bank sentral seperti 10 tahun lalu. Kini bukan istilah independensi. Tapi lebih dari itu, apresiasi setelah dalam bulan-bulan terakhir, bank sentral menjadi tumpuan maki. Kalau lebih 12 bulan sudah berjalan, para ex petinggi bank sentral menjadi langganan berita yang dilansir dari KPK, maka kini bank sentral sedang dan akan menjadi berita karena BI1 akan menjadi RI2. Kalau mimpi ini jadi kenyataan pasti semua sependapat bulan Mei ini menjadi tuah buat bank sentral karena akan menjadi sejarah unik dalam perjalan bangsa ke depan.

Thursday, April 30, 2009

Wednesday, April 29, 2009

KESEMPATAN (CHANCE)

SETIAP MAHAKARYA LAHIR KARENA TERSEDIA KESEMPATAN BUKAN KARENA TERPAKSA APALAGI DIPAKSAKAN

Tuesday, April 28, 2009

Jujur (Honest)

KEJUJURAN SEPAHIT EMPEDU LEBIH MANIS DARI SEDIKIT DUSTA BERSALUT MADU (HONEY) MURNI

Saturday, April 11, 2009

ASAL ATAU TUJUAN

Dalam hdup manusia bergerak dari satu titik menuju titik lain. Titik pertama disebut dengan asal sedangkan titik kedua dinamai tujuan. Asal dan tujuan menjadi penting dalam hidup karena sangat menentukan hampir semua aspek kehidupan. Sulit menetapkan apakah asal lebih penting atau tujuan lebih penting. Persoalan yang dihadapi seseorang adalah apabila dia telah mencapai tujuan dia tidak bisa berhenti pada titik itu. Dia harus bergerak lagi mencapai titik lain, sedangkan tujuan yang telah dicapai otomatis berubah menjadi titik asal.


Pertanyaan selanjutnya apakah yang menjadi tujuan dalam hidup itu? Bisakah manusia memiliki satu tujuan? Dimanakah letak cita-cita atau visi dan misi seseorang atau perusahaan? Benarkah pernyataan bahwa tidak ada yang kekal kecuali perubahan?


Untuk memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, diberikan ilustrasi. Seandainya seseorang explorer berjalan dari Jakarta, menuju satu titik persinggahan, kemudian melanjutkan perjalanannya menuju titik lain, pada akhirnya explorer tersebut hanya berhenti apabila telah kembali di Jakarta. Jadi dari Jakarta tiba di Jakarta, baru bisa berhenti. Ilustrasi tersebut membantu pikiran dan harapan bahwa ada satu tujuan yang bisa membuat seseorang tidak akan mencapai tujuan yang lain yaitu ketika dia sudah tiba pada asalnya. dengan demikian yang semula asal akan menjadi tujuan akhir.


Untuk membebaskan seseorang dari perangkap dimensi yang membatasi ruang geraknya maka perlu diketahui bahwa ada asal yang menjadi tujuan yang satu saat pasti dihadapi seseorang yaitu pangkuan TUHAN.

Sunday, April 05, 2009

Situ Gintung : Bencana Alam atau Kecelakaan

Banjir yang melanda perumahan-perumahan di Ciputat akibat Situ Gintung sering disebut sebagai Tsunami Lokal. Istilah Tsunami Lokal dilahirkan karena pengalaman waktu kejadian yang mendadak dan relatif singkat tapi menelan banyak korban. Air bah yang melanda rumah dengan ketinggian 3-6 meter dan kecepatan yang spektakuler telah menyebabkan korban meninggal sudah 103 orang dan pencarian masih terus dilakukan. Dari sisi regu penolong (rescue), diketahui bahwa tim SAR yang melakukan pencarian korban adalah tim yang turun pada saat Tsunami akhir tahun 2004 di NAD.


Sepertinya ada benang merah yang mentautkan kejadian tsunami di NAD dengan peristiwa Situ Gintung. Namun mendengar kesaksian dari warga dan perkembangan informasi media massa, ada perbedaan yang signifikan. Yang pasti, Situ Gintung terjadi karena ambruknya pertahanan tanggul ( bangunan waduk). Konon waduk yang buatan manusia pada masa kekuasaan penjajahan Belanda itu tidak pernah dilakukan renovasi atau revitalisasi konstruksi. Jadi wajar, bangunan yang sudah di atas 50 tahun beroperasi terus menerus tanpa pemeliharaan yang terus menerus pula akan menghadapi panggilan usia, rapuh.


Korban yang relatif besar tersebut tidak akan terjadi apabila para pedagang properti tidak memaksakan (mungkin pakai pelumas) untuk mendapatkan izin dari pemerintah untuk membangun perumahan asri dan mahal di kasawan aliran saluran Situ yang letaknya lebih rendah dari Situ itu sendiri. Kondisi perumahan yang lebih rendah dari Situ rapuh tersebut, lolos dari perhatian para konsumen ketika menerima iklan dan penawaran dari pengembang. Rumah asri yang ditawarkan seolah menjawab mimpi konsumen yang mengidamkan rumah bagus, besar, mewah. Pemenuhan ambisi dan mimpi sering menjadi selubung yang menutup mata hati untuk lebih melakukan kaji (baca: zikir). Apalagi beberapa artis dan pejabat sudah terlebih dahulu menyatakan akan menghuni property itu. Sehingga akhirnya tanpa sadar bahaya maka jualan properti di kawasan itu menjadi laris manis seperti sawo manis.


Setelah semua properti terjual, mulai ramailah suasana di perumahan-perumahan itu, maka dipilihlah perwakilan RT dan RW sehingga semakin yakinlah bahwa secara administratif, daerah itu resmi menjadi kawasan pemukiman. Para Pamong juga seakan menutup mata bahwa perumahan itu berada diposisi bencana. Para pamong bukan mengingatkan (menegur) penghuni itu, sebaliknya semakin gencar menarik pajak dan retribusi seiring kondisi perekonomian warga yang semakin bersemi.


Selepas kejadian Situ Gintung, TUHAN menjadi sasaran pertama kritik dan komplain atas kejadian itu. TUHAN adalah pencipta alam semesta. Jadi bukan pembangun Situ Gintung dan Perumahan di aliran situ itu, sehingga kritikan dan bahkan mengarah kepada hujatan itu salah alamat.


Penyebab tsunami di NAD adalah alamiah pergerakan alam semesta (lembeng bumi bergeser). Wajar kalau tidak ada satupun manusia yang memastikan masa dan waktu serta dasyatnya tsunami. Sementara banjir Situ Gintung dapat diketahui dari pengamatan terhadap kondisi konstruksi.


Dari informasi tersebut di atas, dapat disimpulkan banjir Situ Gintung bukan merupakan bencana alam, tapi lebih merupakan kecelakaan. Jadi kita tidak perlu melantunkan lagu mas Ebiet G Ade (EGA)..

Wednesday, March 25, 2009

LOWONGAN


Dalam waktu yang singkat, Bank Sentral memerlukan tenaga tranlater alumni SMA
selengkapnya dapat dilihat pada brosur di bawah ini.

Monday, March 16, 2009

USAHA RUMAH (UR) KARTIKA

Alexo   membuat sebuah keputusan yang radikal pada awal Maret 2009. Ia mengingat mimpinya yang sudah lama terkubur  memiliki bisnis, seperti sepupunya. Bisnis  yang dipilihnya adalah  menjadi pengecer  gas isi ulang  ukuran kecil.  Penghasilan yang diperolehnya sebagai  karyawan di sebuah perusahaan swasta tidak menjamin  tersedianya  kebutuhan  isteri dan ketiga anaknya. Apalagi  Nining  puteri sulungnya sudah akan menginjak  bangku  SD tahun ini. Dari  bisik-bisik menjelang tidur dengan isteri tersayang  Kartika, Alexo  kaget  mengetahui  uang pertama masuk  sekolah masa sekarang mencapai  puluhan juta.  

Keputusan radikal itulah yang membuat Alexo  kelihatan  lebih  pendiam dan sibuk akhir-akhir ini. Pergulatan dalam fikirannya  menghanyutkan Alexo pada berbagai masalah. Alexo seolah-olah terhisap oleh kuatnya suara  yang mendengung-dengung.  Bisnis itu susah. Bagaimana kalau gagal. Barang dagangan tidak laku. Saingan banyak dan modalnya lebih kuat. Namun yang paling  membebat  hati dan fikiran Alexo adalah dari mana modal usaha. Bisnis butuh modal…usaha perlu biaya dan pengorbanan.  Kartika  tak kuasa  membendung  kegalauan fikiran  Alexo karena Kartika sendiri  sangat mendukung mimpi Alexo untuk memulai  bisnis, tapi Kartika belum  punya jalan keluar untuk mencari modal. Sekali pernah Kartika  menyarankan Alexo untuk pinjam modal dari teman. Tapi siapa?  Teman Alexo  hampir semua mempunyai masalah yang sama.

Meskipun dilanda  kebuntuan  modal usaha, Alexo tetap  bertekad  untuk  memvisualisasikan  impiannya berbisnis. Walaupun belum punya modal dia  mencari informasi  harga tabung gas ukuran kecil. Dimana lokasi  usaha yang akan dijalankan. Alexo juga sudah memiliki  komunikasi dengan agen  gas. Selain itu, Alexo sudah menghitung  tetangganya yang akan jadi pelanggan. Dia sangat  meyakini bahwa semua  warga masyarakat  di sekitarnya sudah  menggunakan gas  mengikuti  program  konversi minyak tanah ke gas yang dicanangkan pemerintah sejak tahun lalu. Secara kasar Alexo memerlukan dana sekitar  Rp.9 jt yang akan dipergunakan untuk :

  1. membeli tabung kosong  50 @Rp.150.000
  2. membeli isi gas  25 tabung @Rp.14.000
  3. membuat iklan 500 lbr  @Rp.100
  4. sewa kios sebulan Rp.500.000
  5. biaya operasional Rp.500.000

Alexo memperhitungkan  jumlah keluarga di dalam  wilayah usahanya yang menggunakan gas ukuran 3kg sekitar  600 kepala keluarga. Dengan rata-rata  pemakaian 1 tabung  dua minggu, Alexo mempunyai  target  akan menjual 20 tabung sehari.  Kartika mengusulkan agar dibuat iklan untuk pemberitahuan kepada warga. Mulanya Alexo kurang sependapat dengan Kartika mengenai iklan karena alasan  pemborosan biaya. Tapi Kartika  berhasil  menghilangkan keraguan Alexo dengan menjelaskan bahwa  banyak warga yang tidak tahu menahu  perkembangan warga di sekitarnya. Biasalah penyakit umumnya warga Jakarta, cuek alias autis. Selain menyetujui  pemasangan iklan, Kartika kebagian tugas untuk membuat  iklannya. Selain untuk menghargai  Kartika, Alexo menyetujui iklan karena dia kurang paham  komunikasi massa. Terlebih lagi, yang menjadi perhatian utamanya adalah modal. Dari mana cari modal?

Alexo pernah berfikir untuk meminjam ke bank, mengingat dia memiliki rekening di salah satu bank besar. Rekening itu merupakan  penampungan  penghasilan Alexo dari perusahaan. Niat ke bank urung dilanjutkan karena Alexo pernah mendengar dari kawan dekatnya betapa susahnya mengajukan  pinjaman ke bank. Meskipun saat ini sedang digalakkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) tapi tetap saja bank mempersyaratkan  jaminan. Bahkan Alexo hampir tidak percaya mendengar untuk mencairkan  pinjaman yang disetujui  tidak gratis. Harus mengeluarkan biaya survey, amplop pelumas bahkan  jasa para  pejabat bank. Masih menurut  teman Alexo, tetangganya yang berhasil mendapat pinjaman bank Rp. 25 jt  harus  disunat  sekitar  Rp.1 jt. Tapi  tetangganya  tidak berdaya dan suka tidak suka terpaksa rela. Memasuki minggu ke empat bulan Maret 2009, Alexo masih belum menemukan jalan lurus untuk mendapat modal usaha yang sudah ditimang-timangnya setiap saat. Bahkan Kartika sering mengingatkan agar Alexo  makan  dan istirahat yang akhir-akhir ini mulai dilupakan Alexo.

Suatu hari, Alexo menghadiri  rapat  karyawan yang diselenggarkan divisi untuk perkenalan dengan  bos baru. Seperti biasa, Alexo kurang semangat mengikuti rapat karena selama ini tidak ada artinya bagi Alexo dan teman-teman. Bahkan Alexo sering tidak hadir  dengan mengemukakan ada tugas pada saat yang bersamaan dengan rapat.  Tapi karena perkenalan dengan bos baru, Alexo menghadiri rapat itu. Alexo akhirnya tahu bos baru masih muda, bernama  Andila  dari Sulawesi.

Setiap hari Jumat sore,  teman sekerja  Alexo  melakukan olah raga tenis  di belakang  kantor. Alexo tidak rutin berlatih. Jumat kali ini Alexo  berada di lapangan tennis niatnya  bukan untuk latihan tapi mau curhat kepada  seorang temannya mengenai  mimpinya yang menjadi “hantu” akhir-akhir ini. Isteri temannya ini bekerja di Departemen Keuangan. Melalui temannya ini, Alexo mau pinjam uang untuk modal.

Karena Alexo bukan petenis sejati, maka dia memberikan kesempatan kepada rekan lain untuk bermain tennis meskipun dia berhak main terlebih dulu  karena dia datang lebih awal. Sambil duduk memperhatikan pukulan temannya, secara tidak sadar, Alexo menggeleng-gelengkan kepala mengikuti  bola yang  bergerak  ke arah lawan. Sesekali Alexo histeris  berteriak  ketika  regu di kanannya  gagal memanfaatkan bola yang matang untuk di smash. Larut dalam  serunya permainan rekannya  Alexo seakan melupakan sejenak beban fikirannya  bahkan tujuan utamanya hadir di lapangan tenis sore itu. Bukan hanya rekannya yang asyik berusaha memindahkan bola, Alexo sendiri  tidak menyadari kehadiran seorang lain di lapangan itu. Alexo dan rekannya  fokus pada gerakan bola tennis. Tiba-tiba terdengar suara datar, “ Bagus juga permainannya”. Suara itu sontak mengejutkan Alexo. Sambil menoleh ke arah pemilik suara, spontan Alexo berucap “ Ehhh pak Andila, maaf pak  tidak tahu Bapak datang. Oh tidak apa-apa  jawab pak Andil sambil menatap permainan  dilapangan.

Pak Andila mengambil posisi duduk di samping Alexo. Alexo sedikit  canggung, karena tidak biasa bersentuhan dengan bos selama ini. Kecanggunang Alexo  tidak bertahan lama  karena Pak Andila  membuka  percakapan yang  mengesankan keramahan. Alexo sendiri mulai mengimbangi percakapan dengan pak Andila bahkan dia mencetuskan niatnya untuk berbisni kecil-kecilan. Beruntung,  pak Andila  memberikan dukungan moral kepada Alexo untuk segera  berusaha. Selain itu, pak Andila berjanji akan mengunjungi  rumah Alexo hari Sabtu esoknya.

Seakan mimpi di siang bolong, Alexo  seperti  mau pingsan ketika  hapenya berbunyi  dan suara disebelah dikenalnya pak Andila. Lebih menegangkan lagi, pak Andila sudah parkir di depan rumah Alexo. Wah, pak Andila silahkan,  repot-repot  mengunjungi gubuk kami… basa basi keluarg dari mulut Alexo. Sembari berjalan ke pintu masuk, Alexo memanggil Kartika  dan memperkenalkan  pak Andila.

Belum lama duduk, pak Andila  menyampaikan bahwa dia tertarik pada perbincangan kemarin mengenai  rencana Alexo berbisnis.  Kedatangan pak Andila  selain silaturahim, juga mau mendalami  usaha Alexo. Bahkan setelah memperhatikan  wilayah sekitar, pak Andila menawarkan kerjasama. Saya bersedia  memberikan modal, asalkan  pak Alexo dan ibu Kartika  sehati dan serius  untuk berusaha. Apakah  usahanya dijalankan di rumah ini atau ada tempat lain? lanjut pertanyaan pak Andila. Kartika menjawab sebaiknya di rumah ini dulu pak Andila, sambil melihat perkembangannya nanti. OK, itu baik sekali. bagaimana  pak Alexo kapan mulai bisnis ini? Sudah ada kesepakatan dengan agen gas itu? Dengan agak ragu Alexo menjawab, sudah pak, bahkan mereka sudah beberapa kali menanyakan kapa dikirim barangnya. Nah, kalau begitu  silahkan dimulai saja. Hari senin, uangnya saya serahkan. tapi janji lho, kita mitra  dan aku bukan kreditor. Baik pak serentak Alexo dan Kartika menjawab. Baiklah pak Alexo dan ibu, saya mohon pamit.

Setelah mengantar kepulangan pak Andila, Alexo setengah berlari masuk ke rumah dan langsung merangktul  Kartika. Sambil berjingkrak-jingkrak, Alexo berteriak, ma kita jadi usaha….kita jadi usaha….Terlalu asyik berjingkrak dan berteriak riang, Alexo lupa  bahwa  dirumah itu ada Nining dan adik-adiknya yang kebingungan melihat  tingkah laku  ayah dan bunda mereka. Kartika akhirnya memberikan  kerdipan mata memberi isyarat kepada Alexo. Alexo tersadar dan dengan agak malu menyapa  Nining dan dua  bocah lainnya. Sambil duduk di sofa tua, Alexo  seperti terbebani fikiran baru. Hal ini dirasakan oleh Kartika. Ada apa  bang, tanya  Kartika. Aku teringat  iklah yang kau usulkan. Masalahnya kalau ada iklan tentu baiknya ada nama usaha itu. Aku belum punya nama usaha itu  kata Alexo.  Kartika  menjawab  kita bikin namanya  Kartika saja bang. Kan walaupun ini usaha mitra bersama, tapi kan aku yang menjalankan. Lagian, ini kan masih usaha kecil-kecilan jadi kita bikin saja Usaha Rumah  atau UR  Kartika.  Ehh, pintar juga kau rupanya ya..boleh juga  nama itu, jawab  Alexo. Tapi  Kartika itu bukan berarti namaku saja bang, tapi itu  juga berarti  Kartini dan Kawan-kawan. Maksudmu potong  Alexo. Kartini kan pejuang perempuan. Jadi ini usaha Kartini masa ini dan mengembangkan  Kartini lainnya.  Wah, sudah jauh rupanya pemikiranmu, jadi tolong buat saja iklannya  aku mau menghubungi  agen gas itu. Terima kasIh TUHAN  serentak mereka berlima spontan bersuara.

Wednesday, March 11, 2009

PARADOKS IMAN

 

Iman adalah suatu  tranfer  spirit dan pemikiran seseorang kepada  objek imannya yang sering disebut TUHAN. Relasi yang intim antara  seseorang dengan Tuhan menjadi ukuran  kadar iman orang itu.  Semakin  dalam  intimasi  relasi  dimaksud, maka semakin  baik dan berkualitas iman seseorang meskipun  satu-satunya yang paling pas  mengukur iman itu adalah Tuhan.

Akhir-akhir ini relatif  sering   lahir  proses  eratisasi  relasi   tersebut di atas dengan cara  mengurangi apresiasi  terhadap  orang atau kelompok yang  tidak sehaluan dengan  orang itu. Media yang dipakai  semakin  bervariasi  mulai dari   surat maya (email), penerbitan buku, bahkan bioskop (cinema). Perkembangan terkini  merefleksikan  kecendrungan untuk  saling menjelekkan.  Pertanyaan yang relevan untuk direnungkan, apakah dengan menjelekkan orang atau kelompok lain  akan meningkatkan  intimasi relasi  iman kita?

Pertanyaan tersebut agak sukar dijawab karena  memiliki unsur  pembenaran terhadap keyakinan sendiri. Selain itu, sangat sedikit  survey atau diskusi ilmiah yang mendalami hal itu.

Dalam sebuah perjalanan, saya merenungkan dan mengingat-ingat  beberapa kisah menarik dari  rekan sekerja yang menunjukkan bahwa  ia memiliki iman yang berbeda dengan yang dia pegang sekarang. Sebut saja Upik, yang dulunya  berkiblat ke Mekkah, sekarang  berkiblat ke Yerusalem dan atau  Vatikan Roma. Masih sedikit  informasi  mengenai  alih iman si Upik, namun  hal yang menarik adalah  pernikahnya merupakan salah satu pemicu.

Pendalaman iman Upik yang sekarang mengalami  tantangan  dimana  sanak saudara dan handai tolan Upik  mencaci maki, menasihati, bahkan mengancam Upik karena meninggalkan kiblat Mekkah. Hujatan yang bertubi-tubi  akhirnya  berhasil membobol  pertahanan kesabaran Upik. Reaksi Upik terhadap sanak saudara dan handai taulan itu  adalah memojokkan  iman saudara saudaranya. Bahkan  Upik semakin  intensif  mencari kelemahan dan kekurangan doktrin dan dogma   imannya yang lama

Tanpa disadari, Upik  memberikan hatinya untuk dieksploitasi sehingga semakin lama semakin kuat kemauannya mencari  kejelekan   iman yang lama. Akibatnya  Upik  semakin lama semakin  bias  dari  objek imannya yang baru.

Selain Upik, terdapat  beberapa  yang  berpindah iman seperti  Monica dari Menado, Fransiska  dari Papua, Sitowati dari Semarang bahkan  kalangan artis juga  banyak yang meniru Upik  maupun Monica.

Pengalaman Upik, Monica dan rekan-rekan mereka  merupaka sesuatu yang fenomenal. Mereka mengaku memiliki kebahagiaan  dalam iman yang baru, tapi perilaku yang dipancarkan dari kebahagiaan itu adalah membentuk  pendapat umum (opini publik) yang  buruk terhadap  imannya yang lama. Paradoks.

Iman yang dianut  atau dirangkul  seseorang  seharusnya  dikiblatkan untuk meningkatkan intimasi antara fikiran, emosi, spirit (mind, heart, soul) kepada  objek imannya. Dalam dogma yang dimiliki Upik saat ini  cinta  merupakan  warna  spesifik. Cinta  harus  ditularkan, dibagikan  bahkan dikorbankan bukan hanya kepada  sanak keluarga  atau kerabat  terlebih lagi kepada  orang yang tidak cinta  alias  musuh.

Sebagai  aliran yang gigih mendeklarasikan cinta, maka Upik harus  membuktikan bahwa  imannya  sekarang betul-betul meningkatkan  relasi yang intim baik vertikal maupun horizontal. Tidak mungkin seorang Upik dalam iman yang baru  melahirkan  buah yang jelek  apalagi menjelek-jelekkan orang lain. Mengapa?

Dalam  kehidupan, terdapat  dua  sifat  yang diberikan yaitu  baik (simbol +) dan buruk  (simbol –). Dalam kehidupan ini pula  sadar atau tidak sadar  kata  cinta hanya  disandingkan  dengan sifat +. Hampir  tidak pernah  kata cinta dipasangkan dengan sifat –.  Pengamatan sederhana ini yang memastikan bahwa  seorang Upik dan jemaatnya  yang  memiliki  inti  doktrin cinta  dapat melakukan sifat –. Jika demikian, masih dipertanyakan  refleksi kebahagiaan  Upik  dalam zona imannya yang baru.

Apapun yang diucapkan  orang lain  kepada Upiktentang imannya yang baru, Upik seharusnya berkomitmen untuk mengatakan cinta kepada mereka sebagai refleksi  imannya. Kejelekan orang lain  tentu tidak akan menambah kebaikan diri Upik. Bahkan jika hal itupun terjadi bukanlah merupakan buah iman, melainkan dorongan  kedirian (ego). Lebih dari itu, hal itu merupakan depresiasi iman karena  hal itu mencerminkan bahwa iman Upik masih dipengaruhi oleh hal-hal lain tidak murni karena  cinta yang murni dan sejati kepada  Tuhan. Jika dianalogikan, iman Upik belum berlabuh secara kokoh karena  memberi peluang seandainya ada yang lebih baik dari imannya sekarang kemungkinan Upik juga akan berpindah ke lain cinta.

GRATIFIKASI

Dalam  Undang-undang No .20 tahun 2001, gratifikasi   dipersamakan dengan korupsi. Gratifikasi sendiri bermakna   pemberian  berupa  barang dan bentuk  lainnya kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri sipil disebabkan oleh karena jabatannya.  Makna tersebut  memiliki  cakupan yang luas  yang mengundang  pembaca untuk mengomentari atau mengkritik. Persoalannya adalah bagaimana memisahkan  seseorang  misalnya   Lambok  yang sehari-hari  memiliki jabatan pada instansi  yang membangun infrastuktur dengan Lambok sebagai warga sipil yang memiliki tanggungjawab sosial.

Di komunitas  sosialnya Lambok  berjabatan sebagia  Ketua Pembangunan Gereja jemaat dimana  Lambok  menemukan  makna terdalam  dari  hidup. Untuk menyelesaikan  pembangunan gedung gereja tersebut  kompetensi  Lambok  sangat pas dengan latar belakang  pendidikan alumni salah satu   Universitas terbaik   di Eropa. Untuk membangun gereja tersebut  Lambok dan pekerja Gereja  menghimbau agar seluruh  jemaat  mendukung  dan berkontribusi secara finacial. Kemegahan rancang bangun gedung   tersebut  dipastikan memerlukan  biaya  di atas  Rp 1 milar. Lambok memiliki   satu putera yang sedang  kuliah di Bandung  dan seorang puteri yang manis yang masih  belajar di SMA 8 Jakarta. Mereka  tinggal  di rumah dinas instansi  Lambok di kawasan Pasar Minggu. Isterinya yang berasal dari  Tegal   sudah tidak  bekerja karena tersita waktu  melayani  suami dan anak-anaknya.

Di kawasan  kompleks  tersebut, selain  rumah instansi  terdapat  banyak rumah  baru  yang cukup  mewah. Sebagian  dari penghuni  rumah baru itu adalah  pengusaha  konstruksi yang sering ikut  dan menang tender di instansi  Lambok. Pada hari Minggu  1 Februari 2009, gereja  Lambok melakukan  acara khusus  berupa  pagelaran  gondang  dan tortor sebagai wadah untuk memberikan kesempatan bagi jemaat dan masyarakat  lain untuk memberikan kontribusi  dalam pembangunan gereja tersebut.

Dalam pelaksanaan acara  gondang dan tortor  tersebut, beberapa  tetangga  Lambok  yang  pengusaha konstruksi  memberikan  persembahan  uang  sebesar Rp.500 juta dan diserahkan langsung kepada Lambok. Mereka menjelaskan bahwa uang yang didonasikan  itu merupakan  pemberian dari  beberapa  rekan sekolega  mereka untuk menunjukkan bahwa  mereka sebagai  jemaat gereja  turut  mendukung  Lambok untuk menyelesaikan pembangunan gereja tersebut. Diharapkan  perayaan Natal 2009 nanti  gereja tersebut telah dapat merayakan Natal di gereja yang baru itu.

Pemberian  donasi tersebut  menimbulkan  kekuatiran dalam didri Lambok mengingat bahwa minggu lalu Lambok baru mendapat penjelasan  dari KPK mengenai bahaya  gratifikasi. Pertanyaan yang pertama muncul dalam benaknya  apakah  donasi tersebut masuk  gratifikasi atau  tidak. Yang jelas  donasi diberikan  mengingat  Lambok sebagai ketua pembangunan gereja. Donasi  tersebut  sejujurnya  tidak diberikan sebesar itu kalau Lambok  bukan ketua pembangunan.  

Monday, February 23, 2009

DOA ANAK BANGSA

OH TUHAN, AMPUNILAH KAMI,

SUCIKANLAH  PIKIRAN, HATI DAN JIWA KAMI

KAISKANLAH KESOMBONGAN

SAPULAH  EGO DARI DIRI KAMI,

SINGKAPLAH SELUBUNG DARI MATA KAMI

 

BUKALAH MATA HATI DAN ROHANI KAMI

TAYANGKANLAH  JEJAKMU DALAM VISI KAMI

PANCARKANLAH TERANGMU SEKELILING KAMI

ALIRKANLAH KUASAMU BERLABUH DI DALAM KAMI

 

MAMPUKAN KAMI BERCAHAYA BAGI KEGELAPAN

MAMPUKAN KAMI BERGUNA BAGI KEPUTUSASAAN

MAMPUKAN KAMI MENJADI ROTI YANG TERBAGI

MENGENYANGKAN  DAN MEMUASKAN KELAPARAN

EKONOMI RAKYAT : SATU RIBU (ONE THOUSAND)

Dalam ilmu ekonomi dasar, kebutuhan manusia (baca- raktyat) terdiri dari  kebutuhan pangan, sandang, pangan, jaminan hari tua. Kebutuhan tersebut digolongkan pada kebutuhan primer.  Secara strata, di atas kebutuhan primer masih ada  kebutuhan sekunder bahkan tertier. Namun untuk rakyat, memenuhi  kebutuhan lengkap juga sudah merupakan suatu prestasi. Di atas  60 % penduduk  Indonesia  umumnya  berada  pada  kelas rakyat. Dari jumlah itu, sebagian kecil saja rakyat yang  memiliki  kemampuan untuk memenuhi  unsur  pangan, sandang, papan, jaminan hari tua secara lengkap. Ada kelompok yang  hanya mampu memenuhi  pangan saja itu pun relatif banyak yang hanya sekedar  makan saja. Makanan yang   bergizi lengkap yang sering dikumandangkan lewat iklan televisi dan radio semakin jauh dari jangkauan. Kelompok lain semakin banyak yang kehilangan  papan (baca-rumah) akibat  semakin maraknya  bencana  alam atau  buatan manusia. Bahkan mereka yang dulunya memiliki rumah super sederhana  sekarang  tinggal di bawah tenda. Usaha untuk membangun rumah super sederhana tersebut  tidaklah dapat disamakan dengan cerita  loro jongrang yang membangun candi dalam satu malam. Mereka telah mengumpulkan  lembar demi lembar  uang ribuan bahkan recehan yang lebih kecil selama berpuluh tahun untuk mendirikan  sebuah pondok yang  setara dengan gubuk di pedesaan. Jerih payah  selama berpuluh tahun sirna diterpa  badai tsunami, banjir air, banjir lumpur bahkan kebakaran. Ironisnya, banyak  yang menamakan dirinya  tokoh rakyat memberi janji untuk  mengganti kerugian tapi  waktu sudah menghitung pergantian  siang ke malam; dari malam ke siang beribu kali, tetap saja  janji tinggal janji. Hati semakin teriris  mengetahui   mereka  kehilangan pangan juga, buah dari  kehilangan mata pencaharian mengikuti kehilangan papan.  Keadaan rakyat semakin bertambah parah ketika  mereka juga mulai kehilangan harapan terhadap masa depan.

Setiap  agama atau kebenaran selalu mengajarkan  agar umatnya memiliki harapan meskipun kondisi pahit getir. Kekuasaan yang diwakili  pemerintah juga  tidak henti-hentinya meniupkan slogan agar rakyat tetap berharap dan berharap.  Semakin kencang tiupan slogan, rakyat semakin menjauh dari  asa. Anarkis, merupakan  kata-kata yang  tidak diajarkan dalam agama  atau kearifan lokal, tapi justeru kata anarkis  semakin  genjar  bermunculan dalam perbincangan  dari pagi sampai sore, di kalangan rakyat  maupun kalangan elite. Kata anarkis seperti berkorelasi positif dan signifikan dengan tiupan slogan penguasa. Semakin  hari, tindakan anarkis bertebaran  di tengah komunitas rakyat.

Satu ribu (one thousand)

sejatinya, rakyat di Indonesia tidak perlu melakukan perbuatan anarkis atau memiliki perilaku anarkis. Indonesia dengan kekayaan alam yang super melimpah, penduduknya yang sudah berbilangan 200 juta  merupakan unsur yang cukup sebagai modal  pembangunan suatu bangsa. Selain super melimpah, kekayaan alam Indonesia juga  beraneka  ragam jenis dan sektornya. Satu hal yang patut disesalkan  adalah  hubungan antara kekayaan alam dan jumlah penduduk tidak seiring sejalan. Kekayaan alam dieksploitasi untuk memuaskan  perut  (konsumtif) saja  dan mengabaikan  kecerdasan  dan kearifan  (human investment). Pendidikan seharusnya sudah berpacu didepan slogan dan perut, tapi selama berpuluh-puluh tahun anggaran pendidikan  relatif kecil sehingga  prestasi atau mutu pendidik dan pendidikan Indonesia semakin melorot. Sayangnya, selain pemerintah tidak ada sektor lain yang  memiliki  visi untuk memajukan pendidikan.

Pendidikan menjadi kunci karena  pendidikan akan menjadi  jawaban terhadap  cara untuk meningkatkan harapan didalam diri rakyat. sudah menjadi budaya umum di Indonesia, bahwa  papan, sandang  boleh miskin, tapi  sekolah tetap jalan terus. Bahkan rakyat yang  kehilangan papan dan pangan pun tetap  berjibaku untuk mendorong pendidikan anak-anaknya. Satu hal yang menjadi  visi dan misi  keluarga  adalah agar kelak  si anak memiliki masa depan yang lebih baik dari  kehidupan sekarang. Sayangnya, nasib  tetap tidak berpihak pada rakyat. Kala rakyat sulit memenuhi papan dan pangan, beban bertambah lagi  dengan semakin  hari  biaya  pendidikan semakin mahal  bahkan seperti  pesawat yang tinggal landas, mendaki  dengan lajunya.  Sekali lagi, slogan  dan slogan disertai janji-janji  menjadi  bumbu orasi pada saat pemilihan  kepala daerah (PILKADA) dan pemilihan kepala negara (PILKANE). Pil-pil  tersebut  tidak mampu memberikan ketentraman rakyat, bahkan sebagaimana  salah makan pil, rakyat bertambah pusing.  

Rakyat yang sakit pusing, harus diterapi  secara benar. Salah terapi berakibat  langsung dan tidak langsung  pada semakin parahnya  kepusingan. Untuk terapi  yang benar  perlu diterapkan  ekonomi  rakyat  yang nyata-nyata merakyat.

Di tengah rakyat  telah  bermunculan  konsep  ekonomi rakyat  bak  jamur  di tengah hujan. Anehnya, semakin banyak konsep, relasi terhadap perbaikan nasib rakyat semakin jauh. Terakhir, dengan sedikit memaksa, pemerintah kembali menggulirkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), tapi selain menuai kritikan program BLT ini hanya  menambah rakyat berfikir  sesaat dan tidak jarang yang sesat karena  realitanya rakyat  tetap melarat.

Meskipun telah banyak konsep ekonomi rakyat di tawarkan, namun  dengan  semangat  yang mulia,  penulis juga menawarkan sebuah konsep ekonomi rakyat  yang disebut dengan  Pendidikan atau Modal usaha   Satu Ribu yang selanjutnya disingkat Satu ribu.

Konsep satu ribu, difokuskan untuk mengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan.  Tujuan utamanya adalah memberikan bantuan pendidikan bagi anak bangsa yang memiliki  kemampuan untuk bersaing di tingkat international.

Siapakah mereka?

Mereka adalah tunas harapan bangsa yang terpilih secara alamiah dengan menunjukkan  bakat dan keterampilan untuk menjadi  manusia unggulan di tengah dunia  persilatan  yang  dengan  sukarela  akan mengabdikan diri dan kemampuannya untuk  mengembangkan potensi kekayaan alam  tanah air untuk meningkatkan  harkat dan martabat  bangsa ditengah  kehidupan bangsa-bangsa.

Mereka adalah putera-puteri terbaik  dari  nusantara yaitu :

1.suku Aceh, Batak, Minang, Palembang.

2. Suku Sunda, Jawa, Bali. Kalimantan,

3. Suku  Makasar, Manado, Ambon, Rote

pengelompokan 12 suku ini hanya  contoh saja, tanpa  membatasi  suku lain.

Bagaimana seleksi mereka?

Masing-masing suku memilih minimal  satu orang   yang akan dijagokan setiap tahun, sehingga  setiap tahun  terdapat minimal 12 orang yang akan didukung untuk memasuki pendidikan di dunia  luar.

Pendidikan yang akan dibantu mulai  program S1 sampai dengan S3 dengan program yang sesuai dengan potensi sumber daya yang menonjol di daerah masing-masing. Program bantuan pendidikan selama 12 tahun.

Siapa sponsor mereka?

Sponsor utama para anak bangsa tersebut adalah  rakyat itu sendiri. Caranya?

Setiap satu orang  putera bangsa yang akan diutus, didukung oleh  minimal  satu ribu  orang. Dukungan tidak dibatasi  dari suku masing-masing, dianjurkan lintas suku.

Setiap satu orang dari satu ribu, memiliki komitmen untuk mendukung putera bangsa tersebut selama 15 tahun. Komitmen dibuktikan dengan sikap hidup sehari-hari minimal setiap kali  makan, maka  wajib menyisihkan  uang satu ribu rupiah. Kalau  makan sehari 2 kali, maka  sehari dia mengumpulkan 2 ribu.

Walaupun miskin rakyat  di Indonesia  tetap saja  mampu makan. Setiap orang yang makan, berarti memiliki kemampuan untuk investasi pada pendidikan (human investment).

Apabila  kelompok satu ribu komitmen untuk memberikan satu ribu rupiah setiap makan atau dua ribu rupiah setiap hari, maka dalam sebulan sudah menyisihkan uang enampuluh ribu rupiah. Jika dikalikan dengan satu ribu orang, maka sebulan dapat mengumpulkan Rp.50 jt – Rp.60 jt.

Untuk membiayai    seorang  S1 di MIT atau Harvard atau Princeton atau Yale tidak sampai Rp.50 jt perbulan.

Kalau penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan makan 2 kali mencapai  100 juta, maka dalam sebulan dapat mengumpulkan uang Rp.6.000.000.000.000,- ( 2.000 x 30 x 100.000.000.).

Apabila  dikelola dengan baik, maka uang itu akan berlipat ganda dan sangat cukup untuk menjadi modal bagi  keunggulan pendidikan anak-anak bangsa.

Manajemen satu ribu  tersebut tidak memerlukan biaya over head yang besar karena  jika dikelompokkan dalam kelompok satu ribu  maka  manajemennya akan lebih mudah ditangani  masing-masing kelompok.

Selain biaya pendidikan, uang kelompok satu ribu sangat cukup menjadi modal usaha bagi  anak bangsa untuk dikembangkan sesuai dengan keahliannya.

Melihat  kenyataannya  di Indonesia, dari 12 suku tersebut di atas, hampir dipastikan masing-masing suku dapat membentuk masing-masing  100 kelompok satu ribu sehingga jumlah kelompok pertama sebanyak 1.200 kelompok atau  tahun pertama  1.200 orang putera terbaik bangsa  dapat  didukung ke universitas terbaik di dunia.  Tahun berikutnya akan tumbuh  kelompok baru dan mereka akan mendukung generasi baru.

dalam kurun waktu 15 tahun maka  terdapat 100 doktor dari berbagai bidang yang memiliki keunggulan akan menjadi tunas harapan untuk membangun daerah masing-masing. Apabila menggunakan program S1 dalam negeri, maka waktu untuk menambah jumlah doktor  dapat dipersingkat dan biayanya dapat menambah jumlah anak bangsa yang akan dibiayai.

satu kata kunci, maukah kita? jawabnya simple dan tidak berbiaya  mahal. Mau.

Wednesday, February 18, 2009

INTERNATIONAL

HOREEE, BIBI SAM  DATANG

Kemarin paman datang, pamanku dari desa. Dibawakannya rambutan,pisang Dan sayur mayur segala rupa Bercrita paman tentang ternaknya Berkembang biak semua ...la.la.la.la.la.la

Penggalan lirik lagu yang dinyanyikan Tasya mencerminkan kegembiraan seorang anak ketika Paman datang dari  desa. Keceriaan yang menghidupkan  suasana keluarga itu murni dan tulus bukan dengan paksaan atau karena pemberian Paman. Paman datang paling membawa  pisang, singkong  atau hasil kebun lainnya yang nilainya  bersahaja saja. Tapi kegembiraan yang dilantunkan  merupakan  sambutan kedatangan Paman.

Togar yang tinggal dibalik Dolok Tolong Tapanuli Utara juga memancarkan sukacita yang sama dengan Tasya tatkala Pamannya datang  dari  Medan apalagi dari Jakarta. Sebelum  Paman Togar berkunjung, para tetangga memandang sebelah mata kepada keluarganya. Maklum, Togar hanya seorang  remaja yang tinggal dengan ibunya tanpa  berlimpah harta.

Kesukaan  besar  yang disenandungkan  anak-anak  ketika Paman atau kerabat  datang, bukan monopoli Tasya dan Togar. Hal itu sudah menjadi  warna dari anak bangsa di mana pun asalnya.

Kedatangan  Bibi Sam (baca Hillary R.C) di Jakarta minggu ini sudah seharusnya menjadikan anak bangsa bergembira ria. Kita merasakan bersama betapa gembira kita di Indonesia  menyambut kemenangan Obama sebagai Presiden  Amerika ke 44. Nah kedatangan Bibi Sam kali ini tidak lepas dari rencana kunjungan Obama pada masa yang akan datang. Kegembiraan  apakah yang dapat kita ekspresikan tatkala Bibi Sam  datang ke Jakarta (baca Indonesia)?

Menurut  akal sehat saya, ada minimal 5  hal yang membuat anak bangsa  bersukaria atas kunjungan Bibi Sam yaitu :

1. Harapan

Kunjungan Bibi yang tidak disertai Paman, akan memberikan  harapan baru bagi kita untuk menunjukkan bahwa bangsa kita  memiliki keistimewaan diantara bangsa di dunia

2. Jaringan

Kedatangan Bibi akan menjalin kerjasama dengan negara tetangga di sekitar karena kelazimannya, sebelum ke Indonesia Bibi akan singgah dulu di negara tetangga lain. Tentu saja kunjungan-kunjungan itu sudah dimengerti protokoler  antar negara sehingga mempererat  jaringan yang sudah terjalin.

3. Kepercayaan

Kita tahu selama ini  Indonesia  dipandang sebagai negara yang  kritis untuk dikunjungi. Negara-negara di Eropa, Amerika, Australia menerbitkan fatwa kepada warganya untuk tidak melakukan kunjungan ke Indonesia. Tahun wisata Indonesia 2008 serasa kurang semarak karena dampak  larangan tersebut. Kunjungan Bibi kali ini akan menghapus image minus yang selama ini diberitakan.

4. Persahabatan

sebagai suatu rangkaian  titian muhibah, kehadiran Bibi akan menentukan langkah selanjutnya kesepakatan kerjasama antar negara yang memberi nilai tambah bagi Indonesia. 

5. Keuangan

Aliran kembali pariwisata mancanegara, jalinan kerjasama antara Indonesia dan Amerika akan berdampak positif bagi ekonomi dan keuangan bangsa kita.

Sekarang bola di tangan kita. Apakah kita bisa  menunjukkan budaya yang luhur  menerima kedatangan Bibi Sam atau kita menunjukkan wajah mutung bahkan seram. Sebagai  bangsa yang sudah memiliki pengalaman  dalam dunia international dan sebagai cerminan anak bangsa yang berbudaya luhur, sudah patut kita sambut  Pama, Bibi, kerabat lain ke rumah kita.

Horee, akhirnya Bibi Sam datang juga. 

BEGIN IN LOVE END IN MARRIED (LSD) – Bag 3

 

clip_image014

clip_image015

clip_image016

clip_image017

clip_image018

clip_image019

HABIS…

Tuesday, February 17, 2009

Monday, February 16, 2009

Wednesday, February 04, 2009

BEDA LEADER DAN MANAGER

Dalam kelas kepemimpinan yang baru saya ikuti, diinormasikan bahwa leadership dan manager tidak sama. Narasumber saat itu membentangkan daftar panjang beda leader dan manager.

Saya sendiri tidak dapat mengikuti secara seksama detail daftar tersebut selain panjang juga bahasanya import jadi agak sulit masuk ke memory. Dalam tanya jawab, narasumber menunjuk saya untuk memberikan pendapat sendiri perbedaan tersebut.



Memory saya berhenti sejenak tapi akal saya melakukan sigi terhadap substansi perbedaan. Seketika saya menjawab:

Manager memiliki bentuk segitiga.
Semakin ke atas, semakin sedikit bilangan manager, bahkan top manager di puncak hanya satu.

Leader berbeda, bentuknya seperti pusaran beliung berbentuk kerucut. Semakin ke atas, semakin banyak leader dan semakin kencang pusaran kerucut semakin terbuka kemungkinan untuk melebarkan ke kiri dan ke kanan.Pusaran itu adalah dinamika dalam organisasi itu sendiri.

Jadi manager, dibatasi oleh kursi yang tersedia, sementara leader menciptakan kursi jabatannya.

Saturday, January 31, 2009

PRESIDENTIAL CHARISMATIC LEADERSHIP

Presidential charismatic leadership: Exploring the
rhetoric of social change
Viviane Seyranian, Michelle C. Bligh ⁎
School of Behavioral and Organizational Sciences, Claremont Graduate University, 123 East Eighth Street, Claremont, CA 91711, USA
Abstract
Fiol, Harris and House [(1999). Charismatic leadership: Strategies for effecting social change. Leadership Quarterly, 10, 449–
482] provide support for the theory that charismatic leaders introduce social change by employing communication targeted at
changing followers' values in a temporal sequence: frame-breaking (phase 1), frame-moving (phase 2), and frame-realigning
(phase 3). Using computerized content analysis, the current study extended these findings by testing additional communication
tactics in temporal sequence on a larger sample of US presidential speeches with an expanded presidential charisma measure.
Compared to non-charismatic leaders, charismatic leaders emphasized their similarity to followers in phase 1 and used negation in
phase 2. Both leadership types used increasingly active and tangible language as they moved from phase 1 to 2 to 3. Across phases,
charismatic leaders communicated with imagery and stressed inclusion, while referring less to conceptual thoughts and inspiration.
A theoretical model of social identity framing is introduced to provide additional insight into how leaders communicate for social
change.
© 2007 Elsevier Inc. All rights reserved.
Keywords: Charisma; Leadership; Social change; Communication; Rhetoric; American presidents; Social identity; Framing
1. Introduction
Social change broadly relates to modifying the existing social order, convention, or status quo in some way. For
example, social change may pertain to solving an existing social problem in an innovative way (Fiol, Harris, & House,
1999), changing group norms, or changing relations between groups (Tajfel, 1981). Charismatic leadership theory (Weber,
1946) postulates that charismatic leaders institute social change and alter the status quo in some fundamental way (see Fiol
et al., 1999). Charismatic leaders achieve this end by presenting people with a powerful vision that inspires and motivates
them towards social change. Specifically, these leaders articulate a vision that appeals to people's emotions and boosts self
worth (Emrich, Brower, Feldman,&Garland, 2001; House, Spangler,&Woyke, 1991).As a consequence, followers form
strong emotional attachments and have a high sense of trust and confidence in the charismatic leader (House et al., 1991).
Additionally, these leaders seem to have an almost “magical ability” (Weber, 1946) to evoke in their followers an intrinsic
motivation to make personal sacrifices in implementing the leader's vision (House et al., 1991; see also De Cremer, 2002;
Available online at www.sciencedirect.com
The Leadership Quarterly 19 (2008) 54–76
www.elsevier.com/locate/leaqua
⁎ Corresponding author. Tel.: +1 909 607 3715; fax: +1 909 621 8905.
E-mail address: michelle.bligh@cgu.edu (M.C. Bligh).
1048-9843/$ - see front matter © 2007 Elsevier Inc. All rights reserved.
doi:10.1016/j.leaqua.2007.12.005
McClelland, 1985). The performance and effectiveness of charismatic leaders is theorized to lay, at least in part, in their
ability to inspire followers to work towards a vision rather than motivating followers with rewards and punishments. In
particular, charismatic leaders tend to use specific communication strategies to inspire followers and implement social
change (Bligh, Kohles, & Meindl, 2004a; Emrich et al., 2001; Fiol et al., 1999; Shamir, Arthur, & House, 1994). The
current study replicates and extends previous research by examining additional rhetorical strategies used by charismatic
leaders when persuading followers to adopt their vision of social change.
Drawing on Lewin's (1951) field theory, Fiol et al. (1999) suggest that charismatic leaders affect social change by
employing specific rhetorical strategies targeted at changing followers' personal and social values. These strategies are
theorized to follow a temporal sequence whereby leaders manipulate different aspects of followers' personal
motivations (desires and fears) and social values (convention and innovation) during separate and temporally distinct
stages. In the first phase (phase 1), charismatic leaders employ frame-breaking strategies by attempting to reduce the
value people place on the current social convention. Specifically, these leaders derogate social convention by either:
(a) negating people's desire to maintain the status quo; or, (b) negating their fear of change or innovation. In the second
phase (phase 2), charismatic leaders engage in frame-moving strategies by attempting to move people's neutral state of
either non-support for convention or non-fear of change to support for change. They accomplish this by either:
(a) encouraging people's desire for non-convention; or, (b) encouraging people to fear not changing the old convention.
In the final phase (phase 3), charismatic leaders use frame-realigning to convince followers to support their new vision
by either: (a) substituting a desire for non-convention to a desire for change or innovation; or, (b) substituting the fear of
not changing the old convention to a desire for innovation. It is during this final phase that charismatic leaders mobilize
their support from followers and encourage them towards action.
To test this model, Fiol et al. (1999) coded 42 20th century presidential speeches for language that denoted negation
(i.e., use of “not”), inclusion, and high levels of abstraction in order to include and engage followers in a change process
that defies current social convention. Three speeches were selected for each president: one from the beginning of the
presidency (frame-breaking), one from the middle (frame-moving), and one from the end (frame-realigning). Thus,
these three speeches represented the three temporal phases of social change over the course of each president's first
term in office. While the social phases may have been operationalized around specific issues (e.g., Cuban missile crisis)
that leaders aimed to change, the researchers' rationale for this operationalization was centered on the argument that
presidents have broad agendas of change that may take years to accomplish (Fiol et al., 1999, pp. 464–5). Overall,
results from their study indicated that charismatic leaders were more likely to use negation, inclusion, and abstract
rhetoric than were non-charismatic leaders. Additionally, results showed that charismatic leaders used these techniques
most frequently during the frame-moving stage (phase 2).
Although Fiol et al. (1999) provide support for their model of social change, several limitations to their study should
be noted. First, the study of Fiol et al. (1999) was limited by sample size, as only one speech per phase was analyzed for
each leader. To help ensure that the speeches are typical of the leader's communication (Shamir et al., 1994) during
each phase, we utilize at least two speeches per phase to address this limitation, resulting in an average sample size of
six speeches for each president. We also extend the sample to include more recent U.S. presidents. Second, the current
study utilizes computerized content analysis rather than human coding. Computerized content analysis minimizes
human coding biases and provides a reliable way of uncovering and counting features of language that may otherwise
be undetectable (see Bligh, Kohles, & Meindl, 2004b for a review of content analysis in leadership; see also Bligh et al.,
2004a; Insch, Moore, & Murphy, 1997; Morris, 1994). Finally, the study of Fiol et al. tested three rhetorical devices
(negation, abstraction, and inclusion) in temporal sequence that charismatic leaders may use to institute change, but
additional communication strategies may also be important. Theory and research on charismatic leadership theory
suggests that charismatic leaders use a multitude of rhetorical devices in crafting their visionary messages (e.g. ,Bligh
et al., 2004a; Conger, 1991; Emrich et al., 2001; Holladay & Coombs, 1993, 1994; Shamir et al., 1994; Shamir, House,
& Arthur, 1993), which have not been tested in relation to the social change process of frame-breaking, frame-moving,
and frame-realigning (Fiol et al., 1999). Therefore, additional rhetorical techniques derived from the study of Bligh
et al. (2004a) (similarity to followers, inspiration, action-oriented language, and tangibility) are also included to explore
a wider range of techniques that charismatic leaders may employ during social change. According to Fiol et al. (1999),
each social change phase requires specific communication tactics to achieve the specified goals of that phase. Hence,
each additional communication tactic explored in this study was specifically selected to correspond to how leaders may
achieve the targeted goals of a particular social change phase. We now turn to detailing the theoretical rationale and
hypotheses concerning each of these rhetorical strategies.
V. Seyranian, M.C. Bligh / The Leadership Quarterly 19 (2008) 54–76 55