DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Thursday, June 25, 2009

JARGON CALON PRESIDEN

Semaraknya pemilihan calon presiden Indonesia 2009 mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan. Kalau dilihat dari penggunaan kata dalam debat, iklan maupun komentar baik melalui media cetak, televisi bahkan online, maka kata "rakyat" menjadi primadona.Mengapa?
Semua calon mau mengambil simpati dan empati dari rakyat. Harapannya rakyat mau memilih sang calon menjadi bosnya lima tahun ke depan. Aneh juga, rakyat yang selama ini selalu di bawah, seolah-olah menjadi majikan dari calon majikan. Proses majikanisasi ini berulang ulang setiap pemilihan presiden di mana pun.
Sayangnya secara jujur, dalam transaksi pihak calon dan rakyat untuk mendapatkan posisi majikan ini, sudah dapat ditebak pihak rakyat sangat lemah.
Rakyat memberikan seluruh kepercayaannya yang bahkan sama dengan kepercayaan kepada Tuhannya kepada calon. Penyerahan total. Tetapi marikita lihat, apakah yang diberikan calon? Hanya jargon titik.
Oleh karena itu, setelah calon dipilih menjadi majikan, maka jargon tinggal kenangan, kehidupan rakyat berlanjut dan berlalu menunggu datangya lima tahun lagi untuk menerima jargon baru.
Dari tiga calon presiden 2009, ada 2 jargon yang sering muncul walaupun tidak menggunakan kata rakyat. Mungkin takut kualat atau terjerat janji.
Ada jargon "lanjutkan". Sementara ada lagi "lebih cepat lebih baik".
Entah disengaja atau tidak, jargon tersebut menjadi pertentangan yang menarik dalam kelakar masyarakat.
Seorang teman roker alias langganan kereta mengajak supaya mendukung program lanjutkan. Tapi dikomentari oleh roker lain, apakah masih bisa dilanjutkan kalau tidak cepat dan lebih baik? Komentar tersebut menjadi menarik karena dua teman saling mempertahankan dan mengajukan jargon yang dipegang.
Padahal kalau berbalik ke fakta sejarah, hampir mustahil ada untungnya atau manfaatnya memperjuangkan jargon dan pencetus jargon. Semua berlalu seiring lewatnya sang waktu.
Aku sendiri merenungkan komentar teman-teman tersebut dalam perjalanan di kereta. Apa sebetulnya yang dapat dipegang dari jargon itu? Kalau mau hitungan kasar, lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya bagi rakyat. Mengapat tidak? Yang pasti jargo lebih sebagai ajang adu mulut bahkan adu otot, dibandingkan memberi kekuatan fisik dan rohani kepada rakyat. Belum lagi niat dari jargon bukan untuk dijadikan pegangan bagi pemilik maupun penerima sekaligus pemegang jargon itu.
Lalu untuk apa memori rakyat direcoki jargon itu? Apakah perlu dilanjutkan jargon itu meskipun lebih cepat dan lebih baik? Apakah calon tanpa jargon lebih berguna?