DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Monday, December 28, 2009

Busway dan Umpatan

Berbeda dari biasanya yang menggunakan mobil bareng isteri, pagi ini saya memutuskan menggunakan bus way menuju kantor. Pilihan itu didasari kepraktisan dan kelegaan. Praktis karena tidak menyetir sendiri. Lega karena tidak stress menghindari motor yang lebih agresif dari angkutan umum. Selain itu, karena sudah memasuki akhir tahun, harapan bahwa penumpang dan pengguna kendaraan sudah berkurang karena sudah banyak yang memasuki libur akhir tahun.
Harapan saya terkabul adanya. Saya masuk halte pertanian dan membeli tiket. Selang beberapa menit saya sudah berada dalam busway meluncur ke arah dukuh atas. Posisi di dalam busway berdiri tapi tidak penuh sesak seperti sebelumnya kalau sekali kali saya memilih transportasi ini. Jalur busway lumayan lancar sehingg waktu tempuh relatif singkat. Hemat saya kelancaran ini karena motor sebagai komplemen pengguna transjakarta relatif berkuang.
Tiba di halte Bank Indonesia, aku turun dan menyusuri tangga untuk keluar dari wilayah busway.
Pada waktu berada di jembatan penyebarangan, saya kaget melihar dan mendengar seorang ibu yang sedang mengumpat orang yang lewat.
sayup terdengar," ya allah, orang kantor pelit amat, tidak memberi amal".
saya tidak berkomentar kepada keluhan ibu itu. Namun sambil melangkah, pikiranku reflek memberi reaksi.
Apakah orang kantor memang pelit? Apakah ibu itu harus mengumpat, sementara dia memposisikan diri untuk dikasihani?
apakah belas kasihan yang kadang-kadang diterjemahkan sebagai amal adalah perbuatan yang memberi selembar ribuan kepada mereka yang ada di jalanan?
Siapa yang memutuskan mereka untuk berkeliaran di jalanan? Siapa yang memilih posisi mereka di atas jembatan dan bukan di atas lahan?
Apakah memang mereka juga sudah terjebak dengan instant mindset, dimana seseorang memberikan mereka sekeping logam limaratus selisih tiket busway merupakah bentuk amal?