DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Wednesday, December 26, 2012

PALUNGAN DAN BANK

Palungan

Palungan adalah tempat makanan hewan ternak. Palungan berbentuk bejana yang terbuat dari kayu atau dari batu. Sepotong balok kayu dengan diameter tertentu, dikeruk bagian tengahnya  sesuai dengan volume yang diperlukan. Sisi lain dari balok itu dibuat menjadi  datar, sehingga kokoh ketika diletakkan pada bidang datar lain seperti tanah atau lantai. Palungan dari batu juga hampir sama prosesnya.
Karena alasan praktis, palungan cenderung di letakkan di atas tanah. Palungan demikian dapat ditemui di huta (dusun) di sekitar Pulau Samosir.
Palungan murah tapi bermakna. Palungan  merupakan inventaris keluarga, tapi tidak memiliki nilai berarti. Tidak ada konflik di suatu daerah karena memperebutkan  Palungan. 

Friday, May 11, 2012

Pejanji dan Kursi Kekuasaan

Jakarta kembali berbenah untuk memperbaiki tatanan ibu kota. Perbaikan  bukanlah suatu harapan kosong. Perbaikan adalah realitas, fenomena yang bisa direncanakan, dikoordinasikan, diwujudkan dan dievaluasi. Perbaikan sebuah kota seperti Jakarta tidak bisa dilakukan hanya dengan slogan-slogan. Perbaikan itu sendiri layak dilakukan apabila dalam sistem dan organ yang ada masih ada yang baik. Jika semua organ dan sistem sudah tidak baik, maka tindakan yang layak dilakukan adalah mengganti  keseluruhan organ tersebut.
Sebelum terlanjur kita jauh melangkah, terlebih terhisap dan terhanyut dengan rayuan  kelompok atau individu yang menjanjikan perbaikan, perlu dilakukan uji kelayakan terhadap organ dan sistem yang ada dalam tubuh Jakarta.
Harapan yang dihembuskan para pejanji  terfokus pada  dua hal yang menjadi  permasalahan  di Jakarta yaitu  macet dan mampet (banjir). Pertanyaan  publik  yang menjadi  pemegang saham (eKTP) kota Jakarta adalah apakah dengan memperbaiki  kemacetan menjadi kelancaran  dan  kemampetan menjadi kelegaan lalu  masalah Jakarta  sudah selesai?
Bukankah kewajiban  yang utama dari seluruh publik terhadap  pemegang sahamnya adalah mensejahterakan keseluruhan  warganya secara berkeadilan?
Mengapa  setiap  perempatan, pertigaan atau perduaan lampu lalulintas, semakin bertambah orang-orang yang lemah, lapar alias miskin? Mungkinkah mereka mencapai sejahtera  yang menjadi hak asasinya?
Para pejanji  dan  para penerima janji seolah-olah sudah sepakat membentuk opini publik bahwa yang  utama  (baca: sejahtera) dikesampingkan  demi  tujuan jangka pendek pejanji. Pejanji hanya ingin kursi, sehingga   untuk mengikrarkan janji lewat televisi disetujui walaupun harus dengan biaya tinggi dan tidak peduli meskipun mengurangi durasi  publikasi  tersangka korupsi.
Kalau dihitung, patut diduga biaya janji di televisi  lebih dari cukup untuk mengatasi  macet dan mampet. Jadi apa yang diharapkan pejanji dari membuang  energi  kecuali  kekuasaan tinggi?
Kekuasaan untuk apa? Untuk menutupi janji yang sudah diucapkan sehingga publik terpaksa melupakannya. Janji-janji  tinggal janji, hidup sejahtera hanya mimpi.
Malam semakin dingin, karena badan lesu disedot kemacetan, perut sepertiga isi karena buruh digaji pas-pasan, sandang dan papan berada diatas kemampetan.
Masalah Jakarta lebih kompleks dari sekedar  macet dan mampet. Masalah Jakarta adalah bagaimana  Pejanji  mewujudkan janji. Jika pejanji menjadi penguasa, maka jangan sekali-kali melupakan janji.
Property,  gaji, lapangan kerja, perizinan, industrialisasi, urbanisasi  merupakan elemen kota yang  harus diperbaiki untuk mencapai kesejahteraan.
Solusinya?????
Jangan berani berjanji kalau tidak berani memberikan bukti.