DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Saturday, October 03, 2009

PARADOKS BENCANA

Gempa...gempaa..gempaaa...
Jerit histeris dan kepanikan kembali mewarnai anak manusia di bumi Minangkabau khususnya Padang dan Paris (Pariaman Sekitarnya). Gelombang getar berkekuatan 7,6 SR penghujung September 2009 membungkam semarak pesta dan melahirkan isak tangis.
Hotel ambruk, perkantoran bertekuk, toko-toko sujud, rumah-rumah berserakan dan jiwa melayang dan jasad bertindihan. Dada penuh sesak, bibir tak juga mampu berucap. Airmata satu-satunya alur mencurahkan kepedihan dan kesesakan.
Media bergema meneriakkan gempa dan bencana ke seantero nusantara bahkan ke seluruh belahan dunia. Dalam sekejab, semua mata memandang sambil mengalirkan air. Kantong dibuka menadahkan belas kasihan. Dompet dibuka memberikan sumbangan tanda empati. Pasukan digiring menyisihkan puing-puing. Relawan berbondong-bondong mengulurkan tangan. Amerika, Jepang, Eropa berdatangan, semua mendemonstarikan kemanusiaan.
Sekali lagi, muncul pertanyaan : Apakah kedamaian tidak bisa melahirkan kasih sayang? Mengapa ketika ada bencana dan tangisan baru muncul kata kemanusiaan? Mengapa dikala semua memiliki kesempatan yang sama untuk bereksistensi sebagai manusia justeru kasih kemanusiaan dikubur dalam-dalam? Apakah hanya ketika bencana terjadi maka penonjolan suku, ras, agama, antar kelompok, negara berhasil dipadamkan?

Tapi tunggu dulu, jangan terlanjur tersanjung. Lihat kerumunan orang di Bandara Soekarno Hatta. Mereka berjuang untuk mendapatkan sehelai kertas tanda terbang. Kalau banyaknya kerumunan tidak menjadi keheranan karena itu biasa apalagi belum sebulan berlalu lebaran. Tapi perjuangan mereka lebih dikonsentrasikan untuk mencukupi anggaran pengadaan tiket. Bayangkan, kalau untuk lebaran yang setiap tahun dilakukan harga tiket paling mahal dua kali harga normal. Kalau normal tiket ke Bandara Minangkabau memerlukan dua ikat uang duaribuan. Dalam keadaan lebaran harga tiket menjadi empat ikat. Namun, ampun TUHAN, baru kali ini kejadian, harga tiket memerlukan 20 ikat.
Lebih tidak masuk akal lagi, sampai di Padang, diperlukan sepuluh ribu untuk membeli satu liter bensin. Itupun belum tentu dapat jatah.
Pertanyaan lagi...Apakah betul ada pemimpin di masa kini? Apakah pemimpin sudah diganti dengan penguasa saja?
Apakah diperlukan bencana lagi untuk memakmurkan negeri ini melalui peningkatan PDB lewat harga-harga yang naik seperti badai?
Ampun TUHAN jangan tambahkan kejahatan ini di atas timbunan jasad dan puing-puing yang berserakan.