DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Saturday, June 13, 2009

MENCAPAI KARIR MENATAP RESIKO

 

Sebagai profesional, seseorang dituntut menyelesaikan tugas yang diemban. Tugas lebih sering datang dari atasan atau dari instansi majikan. Sebagai bawahan atau mitra kerja, melaksanakan tugas yang diminta tidak sulit. Permasalahan utama adalah apakah kita mau melakukan perintah yang diminta atasan atau siapapun  dengan mengorbankan pilihan-pilihan yang  selama ini kita bangun (baca : karir)?.

Seorang  manajer level menengah misalnya, pastilah sudah menghitung hari dan beban yang akan dijalani untuk mencapai   tangga karir yang lebih baik, puncak manajer. Tentu saja untuk mencapai  cita-cita tersebut, sang manajer tidak  cukup dengan belajar dan bekerja keras. Persoalan utamanya adalah apakah dia akan tergelincir pada saat meniti  jalan yang ada di depan?  Masalah ini juga dihadapi seorang perwira menengah yang  bercita-cita untuk menjadi Panglima. Secara potensi baik manajer maupun perwira memiliki  modal yang lebih dari cukup untuk sampai ke puncak karir mereka. Tapi faktanya, banyak yang tidak sampai bahkan melorot ke bawah jabatan semula. Apa penyebabnya?

Dalam dunia karir, seseorang yang ambisi untuk mencapai puncak tentu saja sudah mengedepankan faktor-faktor  yang menunjang keberhasilan. Baik manajer maupun perwira  faktor yang paling utama adalah atasan mereka. Di belahan dunia manapun dan di sektor apapun, atasan merupakan kunci keberhasilan bawahan.  Barangkali semua mengamini kata bijak lama "Jangan melupakan  mentormu". Setiap manajer akan berusaha jatuh bangun untuk mewujudkan keinginan atasan. Sang perwira   juga akan memasang badan demi memenangkan hati komandan.

Keinginan atasan  manajer sering disebut perintah. Untuk memastikan mitra kerja maupun bawahan, manajer tidak jarang mencatut bahwa  proyek ini  merupakan perintah bos. Bagi perwira juga  akan melakukan jurus yang sama, ini perintah komandan.  Meskipun menggunakan perintah sebagai  kata kunci, namun penerapan dan implikasinya bisa berbeda bagi si manajer dan perwira. Untuk membedakan maksud perintah, selanjutnya perintah dipakai untuk dunia manajer, sedangkan order dipakai untuk dunia perwira.

Apabila  manajer menerima perintah, manajer  harus mencari rujukan dan rekomendasi untuk meyakinkan bawahannya bahwa  mereka sedang berjalan pada arah yang benar. Bahkan manajer  merasa perlu untuk mengulang-ulang bahwa perintah  tersebut merupakan instruksi dari atasan mereka. Dalam menjalankan perintah itupun, sang manajer harus menguasai  teknik berkomunikasi, negosiasi untuk menghadapi komentar bahkan kritik bawahannya.  Sementara, seorang perwira yang menerima  order dari atasan, cukup sekali mengatakan bahwa ini order komandan. Anak buah perwira tentu serempak menjawab siap laksanakan.

Hasilnya, pekerjaan manajer dapat dicapai dengan negosiasi, perdebatan sedangkan perwira menyelesaikannya tanpa hal-hal yang  kontraproduktif dari bawahan. Dari indikator tersebut, hampir dipastikan bahwa  perwira akan lebih baik menyelesaikan order karena lebih cepat. Jika demikian adanya, mengapa manajer tidak mengadopsi  gaya  order perwira untuk menyelesaikan  perintah tersebut?  Selain lebih cepat, tentu akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan.

Hal tersebut sangat tergantung pada implikasi. Seorang manajer berusaha untuk meyakinkan bawahan dan mitra kerja dengan alasan bahwa selain membagikan tanggungjawab, dia juga sedang membagikan resiko yang dimiliki tugas tersebut. Sedangkan perwira tidak perlu "berbusa-busa" untuk berbagi  resiko karena dalam dunia perwira tanpa ada tugas pun mereka sudah menanggung resiko. Hal lain,  resiko selalu berada pada pemberi perintah - sang komandan. Meskipun dalam faktanya sang komanda ada yang menghianati  dirinya sendiri dengan membantah  bahwa dia pernah mengeluarkan sebuah order.

Bagi manajer akan melakukan perintah yang diberikan padanya dalam bentuk tertulis. Sehingga begitu perintah itu diberikan maka  atasan  secara  faktuil sudah menyatakan bahwa resiko berada pada atasan sepanjang perintah dilakukan tidak menyimpang. Namun bagi perwira, order tidak lazim dituangkan dalam tulisan karena kebiasaan di lapangan dimana tidak memungkinkan mengeluarkan  order dengan tulisan sedangkan resiko yang dihadapi sudah di depan hidung. Sebagaimana dikemukakan seorang "para komando" bagi seorang perwira hanya ada 2 (dua) sikap menerima order; pertama, siap laksanakan, atau kedua mundur dari jabatan.

Dari uraian tersebut di atas, seolah-olah  perwira akan diuntungkan dalam proses pelaksanaan, sedangkan  sang manajer akan lebih aman dari sisi implikasi atau  resiko yang dihadapi.

Apabila terjadi dampak dari order yang tidak sejalan dengan kepentingan publik maka perwira akan menghadapi sendiri resiko karena tidak bisa menunjukkan bahwa  dia mendapat order dari komandan. Order dalam dunia perwira  sudah identik dengan   fatwa atau bahkan sabda. Artinya, seorang prajurit tidak mungkin melakukan tindakan (operasi) tanpa order dari atasannya. Anehnya, dalam persidangan sebuah kasus, seorang prajurit sering dituduh melakukan tindakan (operasi) sendiri dan harus bertanggungjawab sendiri.

Berbeda halnya dengan manajer yang menghadapi tuduhan dalam persidangan. Apabila manajer mampu menunjukkan bahwa ada perintah dari atasan dan manajer dan mitra kerjanya tidak menyimpang dari perintah itu maka dia tidak bisa dituduh bertanggungjawab sendiri. 

Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa persidangan manajer lebih banyak terjadi disebabkan karena dia menjalankan tugas dan tidak  bisa membuktikan bahwa atasan memberikan perintah. Dengan kata lain, manajer akan berhadapan dengan persidangan jika dia mengadopsi  gaya order perwira. Mengapa bisa terjadi? Faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk mencapai puncak adalah akselerasi atau kecepatan perjalanan karir. Untuk lebih cepat mencapai puncak, manajer  terlena dengan kecepatan yang dikendalikannya tanpa sadar bahwa dia masih memiliki atasan. Artinya secepat apapun dia mengemudikan karirnya mash ada atasan yang menentukan arah perjalanan. Tantangan terberat manajer adalah menuruti atasan tapi tidak menyimpang dari arah (visi). Jika diperhadapkan pada dua pilihan, atasan atau arah maka seorang manajer harus memikirkan resiko yang akan dihadapi. Kalau memilih atasan, jalan menuju puncak lebih cepat, tapi resikonya tidak lama bertahan di tahta. Sedangkan kalau memilih arah, maka  tahta mungkin tidak tercapai tapi reputasi yang selama ini dibangun masih bisa dipertahankan bahkan menjadi  modal untuk perjalan selanjutnya. Bagi manajer yang sudah hampir mencapai puncak, menghitung resiko tersebut sudah lazim dibuat, bahkan hitungan itulah yang menyelamatkan dan menghantar dia sampai ke ambang puncak. Tapi di ujung perjalanan sering kali  tidak introspeksi karena  tidak selamanya  formula  yang dilakukan selama ini manjur untuk segala jaman. Waktu yang sudah cukup lama bersama dengan atasan dan realitas di belakang selalu menjadi  rekomendasi manajer untuk maju sekaligus juga tergelincir. Sulit sekali membedakan pilihan yang benar antara atasan atau arah.

Tips

Sebelum terlanjur bergantung pada faktor luar saja, manajer atau perwira harus memiliki hati nurani yang murni. Memiliki tidak cukup. Perlu melatih dan mengasah  dengan mendengarnya. Persidangan yang sesungguhnya terjadi setiap saat ketika manajer atau perwira mendengar nuraninya. Kemurnian hati nurani akan menentukan ketajaman nurani itu sendiri. Memurnikan hati nurani  adalah perjalan panjang sejak lahir. Hati nurani  yang murni hanya muncul dari sebuah  pengudusan dari duniawi (dosa).  Dosa hanya dapat disucikan dengan darah Anak Domba Allah. Masalah yang  tidak pernah disadari adalah  manajer dan perwira tidak percaya pada Anak Domba pemberi Jalan Lurus.

 

Monday, June 08, 2009

Generasi Entertain

Entertain merupakan kata yang paling digemari kalangan remaja dan pemuda. Tanpa melihat latar belakang ekonomi, semua remaja keranjingan untuk masuk dalam komunitas entertain. Pengaruh entertain bagi generasi muda tidak sekedar jargon atau prokem alias bahasa gaul. Entertain sudah menjadi gaya hidup bahkan tujuan hidup. Mari kita tanyakan anak-anak remaja di sekitar kita. Mereka pasti lebih memilih membeli gadget dibandingkan membeli buku sekolah. Gadget yang disebut HaPe, tidak cukup dengan kapasitas fungsi utama sebagai alat komunikasi. HaPe remaja kini minimal memiliki alat foto, pemutar musik bahkan memiliki kemampuan internet.

Menjadi pertanyaan, apakah yang dicari dari kecanggihan gadget tersebut? Jawabnya adalah tren dan tidak lebih dari entertain. Musik favorit menjadi ringtone. Artis idola menjadi penghuni folder masing-masing. Segala petuah kuno yang mengajak mereka hidup dengan akar keagamaan yang kuat mulai digeser dengan pesan singkat teman. Orang tua banyak yang frustasi karena anak-anaknya lebih percaya iklan daripada kasihnya.
Yang tidak kalah seru, generasi ini ingin menjadi seperti idolanya. Sayang yang paling jawara sebagai idola adalah para artis. Lebih sayang lagi, para artis tersebut lebih banyak yang dililit persoalan daripada yang menang dalam persoalan. Paling disayangkan, persoalan para idola dipercayakan pada duni hitam atau dunia gemerlap.

Belajar masih dilakoni, tetapi brain memori sudah semakin diisi fantasi dan informasi enterteiner sehingga porsi memori untuk merenungkan dan melakukan ilmu alam semakin berkurang. Spirit generasi ini sudah bergeser dari tunas melati bangsa menjadi reinkarnasi showbiz dan advertise. Jangan tanya siapa nama menteri yang bertanggung jawab untuk usaha mikro. Jangan juga ditanya menteri yang mengurusi Nusantara Timur. Konon, mereka sendiri tidak pernah tahu lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Lalu bagaimana nasib kelanjutan bangsa dan negara ini? Belajarlah entertain. Buatlah entertain menjadi jembatan komunikasi yang menghantar generasi kepada keluhuran hidup masa depan.