Sebagai profesional, seseorang dituntut menyelesaikan tugas yang diemban. Tugas lebih sering datang dari atasan atau dari instansi majikan. Sebagai bawahan atau mitra kerja, melaksanakan tugas yang diminta tidak sulit. Permasalahan utama adalah apakah kita mau melakukan perintah yang diminta atasan atau siapapun dengan mengorbankan pilihan-pilihan yang selama ini kita bangun (baca : karir)?.
Seorang manajer level menengah misalnya, pastilah sudah menghitung hari dan beban yang akan dijalani untuk mencapai tangga karir yang lebih baik, puncak manajer. Tentu saja untuk mencapai cita-cita tersebut, sang manajer tidak cukup dengan belajar dan bekerja keras. Persoalan utamanya adalah apakah dia akan tergelincir pada saat meniti jalan yang ada di depan? Masalah ini juga dihadapi seorang perwira menengah yang bercita-cita untuk menjadi Panglima. Secara potensi baik manajer maupun perwira memiliki modal yang lebih dari cukup untuk sampai ke puncak karir mereka. Tapi faktanya, banyak yang tidak sampai bahkan melorot ke bawah jabatan semula. Apa penyebabnya?
Dalam dunia karir, seseorang yang ambisi untuk mencapai puncak tentu saja sudah mengedepankan faktor-faktor yang menunjang keberhasilan. Baik manajer maupun perwira faktor yang paling utama adalah atasan mereka. Di belahan dunia manapun dan di sektor apapun, atasan merupakan kunci keberhasilan bawahan. Barangkali semua mengamini kata bijak lama "Jangan melupakan mentormu". Setiap manajer akan berusaha jatuh bangun untuk mewujudkan keinginan atasan. Sang perwira juga akan memasang badan demi memenangkan hati komandan.
Keinginan atasan manajer sering disebut perintah. Untuk memastikan mitra kerja maupun bawahan, manajer tidak jarang mencatut bahwa proyek ini merupakan perintah bos. Bagi perwira juga akan melakukan jurus yang sama, ini perintah komandan. Meskipun menggunakan perintah sebagai kata kunci, namun penerapan dan implikasinya bisa berbeda bagi si manajer dan perwira. Untuk membedakan maksud perintah, selanjutnya perintah dipakai untuk dunia manajer, sedangkan order dipakai untuk dunia perwira.
Apabila manajer menerima perintah, manajer harus mencari rujukan dan rekomendasi untuk meyakinkan bawahannya bahwa mereka sedang berjalan pada arah yang benar. Bahkan manajer merasa perlu untuk mengulang-ulang bahwa perintah tersebut merupakan instruksi dari atasan mereka. Dalam menjalankan perintah itupun, sang manajer harus menguasai teknik berkomunikasi, negosiasi untuk menghadapi komentar bahkan kritik bawahannya. Sementara, seorang perwira yang menerima order dari atasan, cukup sekali mengatakan bahwa ini order komandan. Anak buah perwira tentu serempak menjawab siap laksanakan.
Hasilnya, pekerjaan manajer dapat dicapai dengan negosiasi, perdebatan sedangkan perwira menyelesaikannya tanpa hal-hal yang kontraproduktif dari bawahan. Dari indikator tersebut, hampir dipastikan bahwa perwira akan lebih baik menyelesaikan order karena lebih cepat. Jika demikian adanya, mengapa manajer tidak mengadopsi gaya order perwira untuk menyelesaikan perintah tersebut? Selain lebih cepat, tentu akan mengurangi biaya yang akan dikeluarkan.
Hal tersebut sangat tergantung pada implikasi. Seorang manajer berusaha untuk meyakinkan bawahan dan mitra kerja dengan alasan bahwa selain membagikan tanggungjawab, dia juga sedang membagikan resiko yang dimiliki tugas tersebut. Sedangkan perwira tidak perlu "berbusa-busa" untuk berbagi resiko karena dalam dunia perwira tanpa ada tugas pun mereka sudah menanggung resiko. Hal lain, resiko selalu berada pada pemberi perintah - sang komandan. Meskipun dalam faktanya sang komanda ada yang menghianati dirinya sendiri dengan membantah bahwa dia pernah mengeluarkan sebuah order.
Bagi manajer akan melakukan perintah yang diberikan padanya dalam bentuk tertulis. Sehingga begitu perintah itu diberikan maka atasan secara faktuil sudah menyatakan bahwa resiko berada pada atasan sepanjang perintah dilakukan tidak menyimpang. Namun bagi perwira, order tidak lazim dituangkan dalam tulisan karena kebiasaan di lapangan dimana tidak memungkinkan mengeluarkan order dengan tulisan sedangkan resiko yang dihadapi sudah di depan hidung. Sebagaimana dikemukakan seorang "para komando" bagi seorang perwira hanya ada 2 (dua) sikap menerima order; pertama, siap laksanakan, atau kedua mundur dari jabatan.
Dari uraian tersebut di atas, seolah-olah perwira akan diuntungkan dalam proses pelaksanaan, sedangkan sang manajer akan lebih aman dari sisi implikasi atau resiko yang dihadapi.
Apabila terjadi dampak dari order yang tidak sejalan dengan kepentingan publik maka perwira akan menghadapi sendiri resiko karena tidak bisa menunjukkan bahwa dia mendapat order dari komandan. Order dalam dunia perwira sudah identik dengan fatwa atau bahkan sabda. Artinya, seorang prajurit tidak mungkin melakukan tindakan (operasi) tanpa order dari atasannya. Anehnya, dalam persidangan sebuah kasus, seorang prajurit sering dituduh melakukan tindakan (operasi) sendiri dan harus bertanggungjawab sendiri.
Berbeda halnya dengan manajer yang menghadapi tuduhan dalam persidangan. Apabila manajer mampu menunjukkan bahwa ada perintah dari atasan dan manajer dan mitra kerjanya tidak menyimpang dari perintah itu maka dia tidak bisa dituduh bertanggungjawab sendiri.
Meskipun demikian, data menunjukkan bahwa persidangan manajer lebih banyak terjadi disebabkan karena dia menjalankan tugas dan tidak bisa membuktikan bahwa atasan memberikan perintah. Dengan kata lain, manajer akan berhadapan dengan persidangan jika dia mengadopsi gaya order perwira. Mengapa bisa terjadi? Faktor lain yang harus dipertimbangkan untuk mencapai puncak adalah akselerasi atau kecepatan perjalanan karir. Untuk lebih cepat mencapai puncak, manajer terlena dengan kecepatan yang dikendalikannya tanpa sadar bahwa dia masih memiliki atasan. Artinya secepat apapun dia mengemudikan karirnya mash ada atasan yang menentukan arah perjalanan. Tantangan terberat manajer adalah menuruti atasan tapi tidak menyimpang dari arah (visi). Jika diperhadapkan pada dua pilihan, atasan atau arah maka seorang manajer harus memikirkan resiko yang akan dihadapi. Kalau memilih atasan, jalan menuju puncak lebih cepat, tapi resikonya tidak lama bertahan di tahta. Sedangkan kalau memilih arah, maka tahta mungkin tidak tercapai tapi reputasi yang selama ini dibangun masih bisa dipertahankan bahkan menjadi modal untuk perjalan selanjutnya. Bagi manajer yang sudah hampir mencapai puncak, menghitung resiko tersebut sudah lazim dibuat, bahkan hitungan itulah yang menyelamatkan dan menghantar dia sampai ke ambang puncak. Tapi di ujung perjalanan sering kali tidak introspeksi karena tidak selamanya formula yang dilakukan selama ini manjur untuk segala jaman. Waktu yang sudah cukup lama bersama dengan atasan dan realitas di belakang selalu menjadi rekomendasi manajer untuk maju sekaligus juga tergelincir. Sulit sekali membedakan pilihan yang benar antara atasan atau arah.
Tips
Sebelum terlanjur bergantung pada faktor luar saja, manajer atau perwira harus memiliki hati nurani yang murni. Memiliki tidak cukup. Perlu melatih dan mengasah dengan mendengarnya. Persidangan yang sesungguhnya terjadi setiap saat ketika manajer atau perwira mendengar nuraninya. Kemurnian hati nurani akan menentukan ketajaman nurani itu sendiri. Memurnikan hati nurani adalah perjalan panjang sejak lahir. Hati nurani yang murni hanya muncul dari sebuah pengudusan dari duniawi (dosa). Dosa hanya dapat disucikan dengan darah Anak Domba Allah. Masalah yang tidak pernah disadari adalah manajer dan perwira tidak percaya pada Anak Domba pemberi Jalan Lurus.
No comments:
Post a Comment