Iman adalah suatu tranfer spirit dan pemikiran seseorang kepada objek imannya yang sering disebut TUHAN. Relasi yang intim antara seseorang dengan Tuhan menjadi ukuran kadar iman orang itu. Semakin dalam intimasi relasi dimaksud, maka semakin baik dan berkualitas iman seseorang meskipun satu-satunya yang paling pas mengukur iman itu adalah Tuhan.
Akhir-akhir ini relatif sering lahir proses eratisasi relasi tersebut di atas dengan cara mengurangi apresiasi terhadap orang atau kelompok yang tidak sehaluan dengan orang itu. Media yang dipakai semakin bervariasi mulai dari surat maya (email), penerbitan buku, bahkan bioskop (cinema). Perkembangan terkini merefleksikan kecendrungan untuk saling menjelekkan. Pertanyaan yang relevan untuk direnungkan, apakah dengan menjelekkan orang atau kelompok lain akan meningkatkan intimasi relasi iman kita?
Pertanyaan tersebut agak sukar dijawab karena memiliki unsur pembenaran terhadap keyakinan sendiri. Selain itu, sangat sedikit survey atau diskusi ilmiah yang mendalami hal itu.
Dalam sebuah perjalanan, saya merenungkan dan mengingat-ingat beberapa kisah menarik dari rekan sekerja yang menunjukkan bahwa ia memiliki iman yang berbeda dengan yang dia pegang sekarang. Sebut saja Upik, yang dulunya berkiblat ke Mekkah, sekarang berkiblat ke Yerusalem dan atau Vatikan Roma. Masih sedikit informasi mengenai alih iman si Upik, namun hal yang menarik adalah pernikahnya merupakan salah satu pemicu.
Pendalaman iman Upik yang sekarang mengalami tantangan dimana sanak saudara dan handai tolan Upik mencaci maki, menasihati, bahkan mengancam Upik karena meninggalkan kiblat Mekkah. Hujatan yang bertubi-tubi akhirnya berhasil membobol pertahanan kesabaran Upik. Reaksi Upik terhadap sanak saudara dan handai taulan itu adalah memojokkan iman saudara saudaranya. Bahkan Upik semakin intensif mencari kelemahan dan kekurangan doktrin dan dogma imannya yang lama
Tanpa disadari, Upik memberikan hatinya untuk dieksploitasi sehingga semakin lama semakin kuat kemauannya mencari kejelekan iman yang lama. Akibatnya Upik semakin lama semakin bias dari objek imannya yang baru.
Selain Upik, terdapat beberapa yang berpindah iman seperti Monica dari Menado, Fransiska dari Papua, Sitowati dari Semarang bahkan kalangan artis juga banyak yang meniru Upik maupun Monica.
Pengalaman Upik, Monica dan rekan-rekan mereka merupaka sesuatu yang fenomenal. Mereka mengaku memiliki kebahagiaan dalam iman yang baru, tapi perilaku yang dipancarkan dari kebahagiaan itu adalah membentuk pendapat umum (opini publik) yang buruk terhadap imannya yang lama. Paradoks.
Iman yang dianut atau dirangkul seseorang seharusnya dikiblatkan untuk meningkatkan intimasi antara fikiran, emosi, spirit (mind, heart, soul) kepada objek imannya. Dalam dogma yang dimiliki Upik saat ini cinta merupakan warna spesifik. Cinta harus ditularkan, dibagikan bahkan dikorbankan bukan hanya kepada sanak keluarga atau kerabat terlebih lagi kepada orang yang tidak cinta alias musuh.
Sebagai aliran yang gigih mendeklarasikan cinta, maka Upik harus membuktikan bahwa imannya sekarang betul-betul meningkatkan relasi yang intim baik vertikal maupun horizontal. Tidak mungkin seorang Upik dalam iman yang baru melahirkan buah yang jelek apalagi menjelek-jelekkan orang lain. Mengapa?
Dalam kehidupan, terdapat dua sifat yang diberikan yaitu baik (simbol +) dan buruk (simbol –). Dalam kehidupan ini pula sadar atau tidak sadar kata cinta hanya disandingkan dengan sifat +. Hampir tidak pernah kata cinta dipasangkan dengan sifat –. Pengamatan sederhana ini yang memastikan bahwa seorang Upik dan jemaatnya yang memiliki inti doktrin cinta dapat melakukan sifat –. Jika demikian, masih dipertanyakan refleksi kebahagiaan Upik dalam zona imannya yang baru.
Apapun yang diucapkan orang lain kepada Upiktentang imannya yang baru, Upik seharusnya berkomitmen untuk mengatakan cinta kepada mereka sebagai refleksi imannya. Kejelekan orang lain tentu tidak akan menambah kebaikan diri Upik. Bahkan jika hal itupun terjadi bukanlah merupakan buah iman, melainkan dorongan kedirian (ego). Lebih dari itu, hal itu merupakan depresiasi iman karena hal itu mencerminkan bahwa iman Upik masih dipengaruhi oleh hal-hal lain tidak murni karena cinta yang murni dan sejati kepada Tuhan. Jika dianalogikan, iman Upik belum berlabuh secara kokoh karena memberi peluang seandainya ada yang lebih baik dari imannya sekarang kemungkinan Upik juga akan berpindah ke lain cinta.
No comments:
Post a Comment