DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Wednesday, March 11, 2009

PARADOKS IMAN

 

Iman adalah suatu  tranfer  spirit dan pemikiran seseorang kepada  objek imannya yang sering disebut TUHAN. Relasi yang intim antara  seseorang dengan Tuhan menjadi ukuran  kadar iman orang itu.  Semakin  dalam  intimasi  relasi  dimaksud, maka semakin  baik dan berkualitas iman seseorang meskipun  satu-satunya yang paling pas  mengukur iman itu adalah Tuhan.

Akhir-akhir ini relatif  sering   lahir  proses  eratisasi  relasi   tersebut di atas dengan cara  mengurangi apresiasi  terhadap  orang atau kelompok yang  tidak sehaluan dengan  orang itu. Media yang dipakai  semakin  bervariasi  mulai dari   surat maya (email), penerbitan buku, bahkan bioskop (cinema). Perkembangan terkini  merefleksikan  kecendrungan untuk  saling menjelekkan.  Pertanyaan yang relevan untuk direnungkan, apakah dengan menjelekkan orang atau kelompok lain  akan meningkatkan  intimasi relasi  iman kita?

Pertanyaan tersebut agak sukar dijawab karena  memiliki unsur  pembenaran terhadap keyakinan sendiri. Selain itu, sangat sedikit  survey atau diskusi ilmiah yang mendalami hal itu.

Dalam sebuah perjalanan, saya merenungkan dan mengingat-ingat  beberapa kisah menarik dari  rekan sekerja yang menunjukkan bahwa  ia memiliki iman yang berbeda dengan yang dia pegang sekarang. Sebut saja Upik, yang dulunya  berkiblat ke Mekkah, sekarang  berkiblat ke Yerusalem dan atau  Vatikan Roma. Masih sedikit  informasi  mengenai  alih iman si Upik, namun  hal yang menarik adalah  pernikahnya merupakan salah satu pemicu.

Pendalaman iman Upik yang sekarang mengalami  tantangan  dimana  sanak saudara dan handai tolan Upik  mencaci maki, menasihati, bahkan mengancam Upik karena meninggalkan kiblat Mekkah. Hujatan yang bertubi-tubi  akhirnya  berhasil membobol  pertahanan kesabaran Upik. Reaksi Upik terhadap sanak saudara dan handai taulan itu  adalah memojokkan  iman saudara saudaranya. Bahkan  Upik semakin  intensif  mencari kelemahan dan kekurangan doktrin dan dogma   imannya yang lama

Tanpa disadari, Upik  memberikan hatinya untuk dieksploitasi sehingga semakin lama semakin kuat kemauannya mencari  kejelekan   iman yang lama. Akibatnya  Upik  semakin lama semakin  bias  dari  objek imannya yang baru.

Selain Upik, terdapat  beberapa  yang  berpindah iman seperti  Monica dari Menado, Fransiska  dari Papua, Sitowati dari Semarang bahkan  kalangan artis juga  banyak yang meniru Upik  maupun Monica.

Pengalaman Upik, Monica dan rekan-rekan mereka  merupaka sesuatu yang fenomenal. Mereka mengaku memiliki kebahagiaan  dalam iman yang baru, tapi perilaku yang dipancarkan dari kebahagiaan itu adalah membentuk  pendapat umum (opini publik) yang  buruk terhadap  imannya yang lama. Paradoks.

Iman yang dianut  atau dirangkul  seseorang  seharusnya  dikiblatkan untuk meningkatkan intimasi antara fikiran, emosi, spirit (mind, heart, soul) kepada  objek imannya. Dalam dogma yang dimiliki Upik saat ini  cinta  merupakan  warna  spesifik. Cinta  harus  ditularkan, dibagikan  bahkan dikorbankan bukan hanya kepada  sanak keluarga  atau kerabat  terlebih lagi kepada  orang yang tidak cinta  alias  musuh.

Sebagai  aliran yang gigih mendeklarasikan cinta, maka Upik harus  membuktikan bahwa  imannya  sekarang betul-betul meningkatkan  relasi yang intim baik vertikal maupun horizontal. Tidak mungkin seorang Upik dalam iman yang baru  melahirkan  buah yang jelek  apalagi menjelek-jelekkan orang lain. Mengapa?

Dalam  kehidupan, terdapat  dua  sifat  yang diberikan yaitu  baik (simbol +) dan buruk  (simbol –). Dalam kehidupan ini pula  sadar atau tidak sadar  kata  cinta hanya  disandingkan  dengan sifat +. Hampir  tidak pernah  kata cinta dipasangkan dengan sifat –.  Pengamatan sederhana ini yang memastikan bahwa  seorang Upik dan jemaatnya  yang  memiliki  inti  doktrin cinta  dapat melakukan sifat –. Jika demikian, masih dipertanyakan  refleksi kebahagiaan  Upik  dalam zona imannya yang baru.

Apapun yang diucapkan  orang lain  kepada Upiktentang imannya yang baru, Upik seharusnya berkomitmen untuk mengatakan cinta kepada mereka sebagai refleksi  imannya. Kejelekan orang lain  tentu tidak akan menambah kebaikan diri Upik. Bahkan jika hal itupun terjadi bukanlah merupakan buah iman, melainkan dorongan  kedirian (ego). Lebih dari itu, hal itu merupakan depresiasi iman karena  hal itu mencerminkan bahwa iman Upik masih dipengaruhi oleh hal-hal lain tidak murni karena  cinta yang murni dan sejati kepada  Tuhan. Jika dianalogikan, iman Upik belum berlabuh secara kokoh karena  memberi peluang seandainya ada yang lebih baik dari imannya sekarang kemungkinan Upik juga akan berpindah ke lain cinta.

No comments:

Post a Comment