DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Thursday, May 26, 2011

TRICKLE DOWN EFFECT?

Saat masih kuliah di semester awal Fakultas Ekonomi, seorang dosen dengan cerdas menginspirasi mahasiswa kelas Ekonomi Pembangunan bahwa pembangunan yang dicanangkan dalam Repelita cukup berhasil. Indikator utamanya adalah pertumbuhan yang up line.


Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipercaya memberikan siraman percik (fountain) kepada masyarakat sehingga berfungsi sebagai distribusi.

Semakin besar tenaga (GDP) yang dimiliki, semakin tinggi titik pancaran (modal), semakin deras dan luas jangkauan (distribusi) pendapatan (income).

Dosen tersebut sedang menjelaskan topik Trickle Down Effect (TDE).

Berpuluh tahun setelah memasuki pasar ekonomi baik pasar produksi maupun pasar konsumen, saya masih bertanya-tanya kapan hujan triple down effect terjadi?

Sebelum menikmati realitas teori TDE tersebut, seorang begawan ekonom di negara ini mengikhtiarkan bahwa anggaran nasional mengalami kebocoran 30 %. Meskipun yang bersabda seorang begawan, namun opininya ditentang bahkan dibantah. Tidak jarang diantara pembantah itu adalah murid-muridnya sendiri. Kog bisa, melawan guru?

Murid pada saat itu sedang memiliki tanggung jawab untuk mensukseskan program Pelita melalui jabatan di kementrian. Katanya kementrian ini bukan jalur karir, tapi masuk golongan jalur politik. Nah, dalam ranah politik konon tidak bisa dibedakan siapa kawan, siapa lawan. Pantes saja guru pun tidak bisa dikenal. Dalam ranah politik, tidak menjadi keheranan, murid membangkang kepada sang guru.



Selang sepuluh purnama kemudian, si murid menerima realita sabda sang guru, Indonesia mengalami krisis moneter yang menjadi multi krisis. Para sakti-sakti ekonomi kala itu tidak bisa menjawab penyebab terjadinya krisis dengan informasi fondasi ekonomi yang kokoh antara lain pertumbuhan dan surplus neraca pembayaran yang baik.

Sayang, sang guru sudah tidak punya kesempatan lagi untuk membimbing dan meluruskan para muridnya karena faktor usia dan retensi berbagai pihak. Sementara, pendapat sang guru masih bisa menjadi pegangan, TDE yang didengungkan selama ini ternyata merupakan kebocoran.



Selanjutnya politik berubah. Sistem tata negara dan konstitusi berubah. Elemen-elemen pemerintahan berubah. Bahkan hampir semua lapisan masyarakat ditulari spirit perubahan. Perubahan dari semua unsur masyarakat merupakan energi yang luar biasa sehingga tidak ada satu kekuatanpun yang mampu menahannya sehingga menimbulkan tsunami politik. Semua orang bebas melakukan apapun yang menurutnya mengenakkan diri, kelompok atau keluarganya.

Hukum pun tidak bisa menahan energi yang begitu dahsyat, sehingga perubahan besar yang dibungkus dengan kata reformasi hanya menghasilkan korupsi.


Aku kembali bertanya, apakah di masa reformasi akan terjadi TDE? Harapan ini muncul karena era perdebatan sang guru dan murid yang disebut orde baru, kebocoran itu ternyata bentuk lain dari korupsi. Tapi sulit membuktikan siapa yang korupsi.

Di era reformasi, kelihatannya koruptor menjadi sasaran tembak utama hukum dan keadilan. Para petinggi negara dan daerah, banyak yang sudah masuk jeratan pasal-pasal korupsi. Hal ini mengindikasikan bahwa akan berkuranglah kalau tidak bisa habis, para koruptor yang menyabot TDE.


Pencarianku pada TDE masih berlanjut, karena GDP dan pertumbuhan masih menjadi fokus para elite. Harapanku makin surut manakala terjadi paradoks dalam kehidupan bernegara. Para koruptor tidak semakin berkurang sebaliknya semakin ramai bukan hanya di eksekutif, tapi menyebar ke judikatif dan legislatif. Kalau sudah begini artinya kran untuk TDE sudah terkunci rapat.


Hati semakin ciut, manakala membaca media yang membeberkan kebocoran menjadi 35 %. Tidak tega untuk membacakannya, baik saya sampaikan petikan media tersebut di bawah ini :


Kendati sulit dibuktikan, kebocoran anggaran publik terus berlanjut dan merugikan negara. Kebocoran anggaran itu mengakibatkan proyek infrastruktur yang dibangun dengan anggaran pemerintah lebih cepat rusak dibandingkan dengan umur rencananya. Direktur Eksekutif Indonesia Procurement Watch Budihardjo Hardjowiyono mengemukakan itu disela-sela workshop mekanisme pelayanan sanggah dan pengaduan yang diselenggarakan Lembaga Kajian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Indonesia Strengtening Public Procurement Program Kemitraan Australia Indonesia di Makassar, Senin (13/4). Budihardjo menyatakan kebocoran anggaran belanja modal ditaksir mencapai 35 % dari nilai pengadaan. Sumber : KOMPAS, Selasa, 14 April 2009.


Ternyata, lembaga KPK yang konon sangat tegas memberantas korupsi, tidak mampu juga mengurangi kebocoran pada saluran distribusi, sehingga pancaran air pembangunan tidak memiliki daya. TDE masih menjadi angan-angan seperti ketika menerima ceramah kuliah di kampus.


Jangan-jangan, TDE yang diinspirasikan dosen dulu ternyata Kebocoran yang berubah wujud sebagai korupsi.






No comments:

Post a Comment