DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Wednesday, March 31, 2010

Kisah Kreasi : MENGANGKAT BATA

Pada masa sekolah dasar, uang merupakan barang langka bagi akoe. Temanku sebaya juga mengalami nasib yang sama. Entah apa sebabnya tidak ada diantara kami, pun orang tua yang bisa menjawabnya. Kami hanya menyimpan pertanyaan itu dalam hati saja. Itu juga yang menyebabkan tidak ada pikiran untuk menjawabnya. Akoe masih ingat, sepotong getuk singkong yang kami namai getuk lindri ditambah lumuran kelapa parut seharga lima rupiah. Sepotong lindri sudah cukup untuk menopang rasa lapar dari pagi sampai siang hari. Tapi sedihnya, kami tidak mampu sarapan lindri setiap hari. Seminggu paling bisa 3 kali yaitu hari Senin, Kamis dan Minggu. Hari pertama dan kedua karena hari pekan. Hari ketiga karena hari ibadah, dimana kami selalu mendapat uang jajan untuk pergi ke gereja.

Walaupun akoe mengalami likuiditas yang ketat, aku tetap menikmati hari-hari dengan bermain dan membantu orang tua. Bahkan akoe sendiri memiliki celengan yang dibuat dari kaleng susu yang dipaku di dinding. Isi celengan tidak bisa dibilang banyak karena sumbernya tidak jelas. Sumber celenganku terutama pemberian Amang jika beliau menerima upah bulanan. Setiap menerima gaji bulanan, Amang selalu memberi akoe dan saudara-saudaraku seratus rupiah. Selain itu, sekali-kali akoe dapat uang dari paman yang berkunjung. Pernah juga akoe dapat uang dari seorang guru SMP yang mendapat pertolongan dari keluarga kami.

Tabunganku relatif lebih banyak dibandingkan dengan kakakku perempuan. Saudara-saudaraku menjuluki akoe si pelit, karena nyaris tidak pernah membelanjakan uang bulanan dan uang pemberian keluarga seperti mereka.

Suatu hari, akoe mendapat uang sebesar dua puluh lima rupiah alias setali. Melihat akoe memiliki uang yang relatif banyak, Emak menginterogasi akoe. Emak kuatir kalau akoe melakukan tindak pidana sewaktu pulang sekolah. Untuk menghapus kekuatiran Emak, akoe menceritakan asal uang itu.

Minggu itu kelas 5 dan 3 mendapat giliran masuk siang. Giliran masuk siang ini harus dilakukan karena ruang kelas sekolah kami hanya 3 kelas. Kelas 6 diprioritaskan untuk masuk pagi karena memiliki tantangan yang lebih berat. Kelas 1 dan 2 masuk pagi masing-masing setengah hari. Jadi kelas 3 sampai kelas 5 yang bergantian gilirann setiap seminggu sekali.

Kami sudah memasuki pelajaran kedua atau sekitar pukul 14.00, tiba-tiba hari gelap dan mendung diikuti angin kencang. Waktu itu memang sedang puncak musim hujan. Bagi sekolah kami angin kencang merupakan ancaman karena tiang utama sekolah kami sudah lama retak. Sekolah kami merupakan bangunan tua dengan konstruksi kayu. Sebagian ruangan kami sudah beratap langit. Setiap hujan, kami terganggu belajar karena menghindari air. Lantainya pun banyak yang sudah tidak mengandung semen.

Memperhatikan kondisi sekolah kami, Kepala sekolah telah memberikan arahan, agar setiap kelas yang masuk siang memperhatikan ancaman angin.

Guru kami sekali-kali menatap ke arah tiang utama sembari menjelaskan pelajaran Bahasa Indonesia. Kelihatan bahwa konsentrasi guru terbagi dan kamipun setali tiga uang. Tiba-tiba guru kelas kami mohon waktu dan pergi ke arah kelas tiga. Sebentar kemudian, guru kami datang dan memberikan pengumuman bahwa kelas kami selesai dan semua murid agar pulang. Guru kuatir dengan situasi angin yang semakin kencang.

Meskipun guru belum selesai berbicara, sontak kami berteriak horeee kita pulang. Kami berhamburan keluar dan pulang.

Hujan rintik-rintik tidak menghalangi akoe dan Hendra, Joni dan Biner untuk pulang. Hendra adalah sobat kentalku. Joni adikku dan Binner teman sekelas Joni. Kami tinggal di area yang sama. Kami berjalan sambil memeluk tas untuk menghindari air. Walau hujan tidak lebat namun baju kami basah. Kami tetap berjalan pulang dengan senang sambil menendang air.

Dalam perjalanan itu, kami melihat sebuah truk berhenti di jalan. Kami mengamat amati truk itu. Truk itu jarang kami lihat. Akoe menduga truk itu bukan milik perkebunan dimana orang tua kami bekerja. Setelah mengamati bagian depan, kami coba naik untuk melihat isi truk itu. Truk itu berisi bata. Sementara kami sedang menaiki truk itu, tiba-tiba seorang keluar dari sebuah rumah dan menghampiri kami. Hari masih diliputi hujan rintik.

Tanpa basa basi, pria itu menawarkan kepada kami untuk menurunkan bata-bata itu dari truk. Dia akan memberikan uang bongkar demikian dia menyebut istilahnya. Sejenak kami berunding dan setuju menerima tawaran pria itu. Tanpa pikir panjang kami mulai membongkar bata itu.

Berselang satu jam lebih, bata itu telah pindah dari truk. Wah, hebat kalian puji si pria. Bata-batanya nyaris tidak pecah dan patah. Ini upah kalian sambil melemparkan uang logam lima puluhan dan dua puluh limaan. Kami menghitung jumlahnya seratus lima puluh rupiah. Kami senang dengan uang itu. Lalu kami berunding. Hendra mengusulkan untuk dibelanjakan di warung mie so di sebelah jalan. Akoe mengusulkan dibagi saja tidak usah dijajankan. Setelah berunding sesaat, kami sepakati bahwa seratus rupiah dibagi rata sedangkan lima puluh rupiah digunakan membeli mie so. Usul itu akoe terima karena tidak bisa dipungkiri disebabkan hujan dan kerja berata akoe sendiri sudah lapar.

Joni juga menceritakan enaknya mie so yang kami nikmati. Emak menggeleng-gelengkan kepala setelah kami bercerita. Emak bilang, mengapa kalian mau diberi upah sedikit? Akoe sendiri tidak tahu apakah upah kami sedikit atau banyak. Satu hal yang kami nikmati dalam membongkar bata itu adalah bermain. Kami berempat sedang bermain dalam membongkar bata itu. Kami tidak merasakan tekanan beban. Apalagi karena kami pulang lebih awal dari sekolah.

Emak kemudian bertanya, mau diapakan uang itu? Spontan akoe dan Joni menjawab “celeng”. Uang tabunganku pun bertambah dari hasil membongkar bata.



Jakarta 30 Maret 2010,

Salam perjuangan dan persaudaraan buat alumni SD No. 2 Dolok Sinumbah

No comments:

Post a Comment