DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Thursday, January 29, 2009

BEKERJA

Bekerja adalah satu kata yang paling digemari  sekaligus dihindari manusia. Paradoks memang, tapi suatu  fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau kita amati di sekitar kita, paradoks itu jelas  kelihatan di jalan raya atau perduaan, pertigaan,  perempatan jalan di kota Jakarta dan kota lainnya. Menjamur  dan menyebar, tidak  tahu dari  mana datangnya, setiap hari  mereka mengulurkan tangan  sambil membisu.  Tidak sungkan menggedor kaca pintu mobil atau sekedar  ikut menumpang di bus kota. Mereka laki-laki dan perempuan, golongan  anak-anak, remaja, dewasa  sampai pada yang  tua  juga tidak mau ketinggalan. Rupa mereka memancar  ceria  aslinya, tapi  demi  alibi, mereka  melesukan wajah dan sorot mata, meminta  belas kasihan. Sakitkah mereka? Tidak mungkin karena mereka bisa berada di lokasi  selama  seharian. Miskinkah mereka? Pasti  jika  yang dimaksud arti  miskin seutuhnya. Lalu mengapa mereka di sana? Tidak adakah tempat yang layak atau yang  kurang layak bagi mereka untuk mengais  rejeki?

Merenungkan nasib  mereka tergoda pula untuk merenungkan  nasib  kita. Kala bertemu dengan isteri-isteri kolega mereka mengeluh  tidak punya pekerja  yang bisa  membantu mereka di rumah. Survey  membuktikan bahwa banyak keluarga  muda  kesulitan mencari pekerja. Nah ini seharusnya berita  baik  buat mereka yang dipersimpangan itu. Bekerja di rumah tuan atau seorang nyonya  lebih  aman dan nyaman daripada  berada  di jalanan. Tetapi mereka tetap saja bertahan  dan tidak mau bergerak (change)? Ada kabar menyebar, mereka dipersimpangan  itu bukan pilihan mereka tapi dipaksakan  kelompok  pengelola. Mereka  sebagai  mesin saja ditempatkan di jalanan pagi hari, siang atau petang hari dijemput untuk dikalkulasikan biaya dan perolehannya. Kejam! Apakah polisi atau pak Lurah tidak bisa  meretas? Ada sumber gosip membisikkan siapa tahu mereka pula cukongnya. Ah mustahil.

Sembari  lewat di tengah sesaknya  mobil lain, mata terhela pada topik utama  harian ibu kota. Berita  ditangkapnya penyelenggara aparatur negara  semakin hari semakin tak terbilang banyaknya. Kasusnya  sama korupsi.  Bukankah mereka sudah bekerja dan mendapatkan kenikmatan yang jauh  lebih baik dan lebih banyak  bahkah lebih terhormat dari mereka  yang mengkaryakan diri di jalanan itu? Alunan berita  radio gayung bersambut dengan warta koran, para koruptor  bermastautin di real estate yang masih di kawasan metropolitan. Wah mereka  pasti  golongan “the have”. Tapi pertanyaan di kepala muncul sama dengan pertanyaan kepada penggiat di jalanan itu. Mengapa mereka  mau melakukan curi  (korupsi)? Bukankah tugas mereka lebih aman dan nyaman  dengan mencegah  korupsi? Mengapa  orang  yang divonis tidak memutus  antrian  di pengadilan tipikor? Issue mendengungkan  vonis itu hanya  sandiwara karena  mereka tidak 100 % di prodeokan. Ponakan tetangga  pernah memergoki  seorang yang divonis sedang  lenggang kangkung  di plaza senayan. Lho kog bisa.

Memasuki sebuah gedung perkantoran dikawasan seputar Monas, aku melihat  waktu sudah  berlalu dari pukul delapan. Sebelum langkahku lenyap di antara himpitan gedung, aku menangkap basah  beberapa  pekerja masih rokokan di warung tenda disebelah pagar  gedung. Setahuku, kantor di daerah itu  sudah on pukul delapan kecuali  kantorku yang memberikan  waktu flexi  tiga puluh menit. Ketika istirahat usai pukul 13, aku masih melihat banyak orang  ngantukan di bawah tenda sambil  bergurau dan masih relax. Teman debat sekantorku memberi bocoran, perokok dan  pengantuk itu, pegawai bumn dan pemerintah daerah. Mereka sudah biasa  seperti itu  dan menunggu  waktu saja. Maksudmu waktu pensiun potongku. Oh tidak, mereka masih produktif, tambahnya. Mereka di situ  karena proyek sudah berkurang. Banyak proyek yang distop takut  masuk KPK. Lho mereka kan bisa melaksanakan proyek tanpa berurusan dengan aparat hukum, kritik ku? Ya, tapi  mereka  tidak mungkin bebas, karena selama ini mereka sudah biasa membelokkan  aturan baik  jumlah proyek maupun  biayanya.

Sampai di ruangan, aku membaca  koran bekas  majikan yang sudah selesai di baca dan  dilongsorkan kepada kami. Koran bertiras  top itu menampilkan  pemandangan  ribuan   lulusan sarjana sedang  antri bahkan diberitakan ada beberapa yang pingsang mendaftar di bursa kerja. Skeptis  benakku berkata, apakah mereka mau bekerja atau sekedar  mencari status bekerja? Kalau mereka masuk kerja, mereka akan seperti  pendahulunya yang mana? Koruptor yang  antri di pengadilan atau koruptor yang belum masuk ke meja hijau? Ataukah mereka  sedang bersolek saja  dengan make up ijajah supaya tidak dicap  pengangguran apalagi pengemis jalanan?

Semua  mendemonstrasikan sebagai pekerja dengan status bekerja kepada mertua, calon isteri, anak-anak atau om dan tante.   Semboyannya sama pokoknya bekerja dan pokoknya uang tebal. Seolah  tertular  narsis, mereka  upaya  melupakan  arti bekerja  sebenarnya.

Para  teman dari  seminari  berkata, bekerja  adalah ibadah. Pun menurut tetangga  yang  rajin ke mesjid setali tiga uang saja, menurut  ceramah om ustad yang didengarnya jumat minggu lalu  bekerja adalah amanah.           

No comments:

Post a Comment