Bekerja adalah satu kata yang paling digemari sekaligus dihindari manusia. Paradoks memang, tapi suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri. Kalau kita amati di sekitar kita, paradoks itu jelas kelihatan di jalan raya atau perduaan, pertigaan, perempatan jalan di kota Jakarta dan kota lainnya. Menjamur dan menyebar, tidak tahu dari mana datangnya, setiap hari mereka mengulurkan tangan sambil membisu. Tidak sungkan menggedor kaca pintu mobil atau sekedar ikut menumpang di bus kota. Mereka laki-laki dan perempuan, golongan anak-anak, remaja, dewasa sampai pada yang tua juga tidak mau ketinggalan. Rupa mereka memancar ceria aslinya, tapi demi alibi, mereka melesukan wajah dan sorot mata, meminta belas kasihan. Sakitkah mereka? Tidak mungkin karena mereka bisa berada di lokasi selama seharian. Miskinkah mereka? Pasti jika yang dimaksud arti miskin seutuhnya. Lalu mengapa mereka di sana? Tidak adakah tempat yang layak atau yang kurang layak bagi mereka untuk mengais rejeki?
Merenungkan nasib mereka tergoda pula untuk merenungkan nasib kita. Kala bertemu dengan isteri-isteri kolega mereka mengeluh tidak punya pekerja yang bisa membantu mereka di rumah. Survey membuktikan bahwa banyak keluarga muda kesulitan mencari pekerja. Nah ini seharusnya berita baik buat mereka yang dipersimpangan itu. Bekerja di rumah tuan atau seorang nyonya lebih aman dan nyaman daripada berada di jalanan. Tetapi mereka tetap saja bertahan dan tidak mau bergerak (change)? Ada kabar menyebar, mereka dipersimpangan itu bukan pilihan mereka tapi dipaksakan kelompok pengelola. Mereka sebagai mesin saja ditempatkan di jalanan pagi hari, siang atau petang hari dijemput untuk dikalkulasikan biaya dan perolehannya. Kejam! Apakah polisi atau pak Lurah tidak bisa meretas? Ada sumber gosip membisikkan siapa tahu mereka pula cukongnya. Ah mustahil.
Sembari lewat di tengah sesaknya mobil lain, mata terhela pada topik utama harian ibu kota. Berita ditangkapnya penyelenggara aparatur negara semakin hari semakin tak terbilang banyaknya. Kasusnya sama korupsi. Bukankah mereka sudah bekerja dan mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih baik dan lebih banyak bahkah lebih terhormat dari mereka yang mengkaryakan diri di jalanan itu? Alunan berita radio gayung bersambut dengan warta koran, para koruptor bermastautin di real estate yang masih di kawasan metropolitan. Wah mereka pasti golongan “the have”. Tapi pertanyaan di kepala muncul sama dengan pertanyaan kepada penggiat di jalanan itu. Mengapa mereka mau melakukan curi (korupsi)? Bukankah tugas mereka lebih aman dan nyaman dengan mencegah korupsi? Mengapa orang yang divonis tidak memutus antrian di pengadilan tipikor? Issue mendengungkan vonis itu hanya sandiwara karena mereka tidak 100 % di prodeokan. Ponakan tetangga pernah memergoki seorang yang divonis sedang lenggang kangkung di plaza senayan. Lho kog bisa.
Memasuki sebuah gedung perkantoran dikawasan seputar Monas, aku melihat waktu sudah berlalu dari pukul delapan. Sebelum langkahku lenyap di antara himpitan gedung, aku menangkap basah beberapa pekerja masih rokokan di warung tenda disebelah pagar gedung. Setahuku, kantor di daerah itu sudah on pukul delapan kecuali kantorku yang memberikan waktu flexi tiga puluh menit. Ketika istirahat usai pukul 13, aku masih melihat banyak orang ngantukan di bawah tenda sambil bergurau dan masih relax. Teman debat sekantorku memberi bocoran, perokok dan pengantuk itu, pegawai bumn dan pemerintah daerah. Mereka sudah biasa seperti itu dan menunggu waktu saja. Maksudmu waktu pensiun potongku. Oh tidak, mereka masih produktif, tambahnya. Mereka di situ karena proyek sudah berkurang. Banyak proyek yang distop takut masuk KPK. Lho mereka kan bisa melaksanakan proyek tanpa berurusan dengan aparat hukum, kritik ku? Ya, tapi mereka tidak mungkin bebas, karena selama ini mereka sudah biasa membelokkan aturan baik jumlah proyek maupun biayanya.
Sampai di ruangan, aku membaca koran bekas majikan yang sudah selesai di baca dan dilongsorkan kepada kami. Koran bertiras top itu menampilkan pemandangan ribuan lulusan sarjana sedang antri bahkan diberitakan ada beberapa yang pingsang mendaftar di bursa kerja. Skeptis benakku berkata, apakah mereka mau bekerja atau sekedar mencari status bekerja? Kalau mereka masuk kerja, mereka akan seperti pendahulunya yang mana? Koruptor yang antri di pengadilan atau koruptor yang belum masuk ke meja hijau? Ataukah mereka sedang bersolek saja dengan make up ijajah supaya tidak dicap pengangguran apalagi pengemis jalanan?
Semua mendemonstrasikan sebagai pekerja dengan status bekerja kepada mertua, calon isteri, anak-anak atau om dan tante. Semboyannya sama pokoknya bekerja dan pokoknya uang tebal. Seolah tertular narsis, mereka upaya melupakan arti bekerja sebenarnya.
Para teman dari seminari berkata, bekerja adalah ibadah. Pun menurut tetangga yang rajin ke mesjid setali tiga uang saja, menurut ceramah om ustad yang didengarnya jumat minggu lalu bekerja adalah amanah.
No comments:
Post a Comment