DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Wednesday, July 06, 2011

MASIH ADAKAH ORANG-ORANG TERANIAYA

Nasihat kuno mengingatkan "jika Pemimpin liar (baca : have no vision), maka hancurlah bangsa". Pemimpin bangsa merupakan pengampu mandat Tuhan dan rakyat. Berbahagialah bangsa yang memiliki visi pemimpin yang berpihak pada Tuhan dan rakyat. Selain terhindar dari kehancuran, bangsa tersebut akan berjalan dalam arah dan tujuan yang terang dan pasti.

Indonesia memiliki Pemimpin bangsa yang disebut Presiden. Sampai saat ini, Presiden Indonesia merupakan orang ke - 6, setelah Soekarno, Soeharto, BJ.Habibie, Abdul Rahman Wahid, Megawati.
Presiden memiliki visi atau tidak, tergantung pada seberapa besar program kerja yang dicanangkan dicurahkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dari yang tidak makan menjadi makan, dari yang tidak sehat menjadi sehat, dari yang buta huruf menjadi melek huruf, dari yang lugu menjadi berpengetahuan, dari yang miskin menjadi berada.
Tolak ukur tersebut otomatis menjadi refleksi seberapa besar relasi Presiden dengan Tuhan.

Fakta yang dimiliki bangsa Indonesia sampai saat ini, bangsa semakin susah mencari kerja dan semakin banyak yang jatuh di bawah garis kemiskinan. Sekolah harus dibayar lebih mahal, ilmu pengetahuan semakin mahal. Bahkan tidak jarang, di daerah tertentu terjadi kelaparan (bangsa tidak makan). Untuk kasus bangsa tidak makan ini, sulit diterima akal jernih dan sehat. Dulu ketika Bangsa Indonesia merdeka "66" tahun lalu, penduduk yang memiliki pengetahuan Sarjana - S1, sangat langka. Wajar kalau pada masa itu masih ada bangsa yang tidak makan. Kurang pengetahuan.
Tetapi ironis, setelah 66 tahun merdeka, beratus bahkan berpuluh ribu anak bangsa yang sudah memegang gelar S1 dan sudah banyak pula yang sudah memegang gelar S2, S3 sebagai ukuran tingkat pengetahuan paling tinggi, masih ada bangsa yang kelaparan karena tidak makan. Apakah ilmu pengetahuan yang sudah mentok itu masih kalah dibandingkan dengan orang dulu yang tidak mengecap bangku universitas??? Mustahil.

Dalam perjalan bangsa demikian, harapan masih ada kala bangsa ini masih bersanding dengan Tuhan sebagai pemberi mandat. Tetapi jika diamati belakangan ini, rakyat sudah mulai bergerak dari posisinya dan jalan sendiri meninggalkan Tuhan.

Kalau dulu rakyat di zhalimi, dianiaya, ditekan, Tuhan mendengarkan jeritan rakyat dan membebaskan mereka lewat putera-puteri bangsa yang dilahirkan dan dibangkitkan. Jeritan yang merupakan doa masih didengar Tuhan karena Tuhan dan rakyat masih bersanding.

Kondisi saat ini Tuhan tidak lagi mendengar jeritan rakyat yang teraniaya. Pasalnya, rakyat sudah masuk perangkap serakah dan kekuasaan penguasa (Pemimpin). Sadar atau tidak, pemilihan langsung menjadi contoh. Hampir semua daerah melakukan pemilihan kepala daerah. Pada saat "pesta rakyat" tersebut, rakyat dimabukkan pesta itu sehingga turut menjadi bagian dari perebutan kekuasaan. Rakyat mendapat berbagai macam 'rezeki" berbentuk amplop atau atribut seperti pembangunan rumah ibadah dan prasarana. Biaya pemilihan kepala daerah tidak ada yang murah atau bebas pulsa. Miliaran bilangannya. Kalau ada 33 Propinsi dan ratusan Kabupaten dan Kota, berarti triliunan uang hambur-hambur dalam kemabukan pesta rakyat.
Hasilnya, tidak perlu kaget dan heran, menaikkan pemimpin yang bisa hanya menghibur rakyat sesaat saja. Tidak ubahnya seperti jajan di "tempat pinggiran".

Rakyat sendiri lupa bahwa mandat yang diberikannya kepada Pemimpin bukan an sich prerogatif rakyat sendiri. Sejatinya, rakyat memiliki amanah dari Tuhan. Selanjutnya rakyat memberikan mandat kepada Pemimpin. Dengan demikian mandat itu milik Tuhan.
Ketika rakyat lupa terhadap Tuhan sebagai partner pemilik mandat, maka rakyat sulit untuk mengekspresikan jeritan hatinya. Tuhan tidak tuli, tapi rakyat yang tidak memiliki frekuensi dan resonansi yang cukup sebagai orang-orang yang teraniaya.
Doa mereka bukan lagi sebagai orang-orang yang teraniaya, tetapi jeritan mereka sebagai orang yang frustrasi karena tidak bisa memuaskan hatinya.

Sangat mengerikan, membayangkan perjalanan bangsa Indonesia ke depan dimana Tuhan dan rakyat memiliki jarak yang semakin lebar, selebar koyakan hati yang frustasi.
Pemimpin tidak memiliki apa-apa kecuali nikmat kekuasaan. Rakyat tidak mendapat petunjuk dari Tuhan.
Akibatnya adalah meningkatnya kesengsaraan, kepedihan, penganiayaan, kemiskinan, tapi paradoks, orang-orang teraniaya sebagai partner Tuhan juga semakin hilang.

No comments:

Post a Comment