DOKTOR ILMU HUKUM

WELLCOME TO CAFEL



MENCERDASKAN GENERASI

MENCERAHKAN ELEMEN BANGSA

MEMBUKA JENDELA DUNIA







Tuesday, January 20, 2009

गेर्बोंग ५ करता एसी



Selesai melakukan kerja, saya sering menggunakan kereta kembali ke rumah. Pilihan yang lebih pas untuk saya adalah jenis kereta ekonomi atau ekonomi AC. Tujuan saya adalah stasiun Pasar Minggu. Stasiun awal saya selalu dari Gondangdia.


Dari dua pilihan yang ada saya lebih memilih kereta ekonomi AC dengan harga tiket Rp.6.000. Secara kalkulasi kantong, kereta ekonomi lebih murah dengan tarif Rp.1.500, namun dari sisi etika naik kereta ekonomi kurang menguntungkan. Saya pernah naik kereta ekonomi dan sungguh di luar dugaan saya, hape saya yang seharga di bawah Rp.500.000, hilang juga. Saya tidak bisa menuduh dicuri orang karena tidak ada buktinya. Yang jelas, ketika didalam kereta, selama perjalanan sekitar 25 menit, saya didesak kesana kemari terlebih pada saat menaikkan penumpang. Bagi badan saya yang sudah overload, tidak bisa ditolak desakan di kereta memompa keringat mengalir lebih deras dari biasanya. Tentu saja, yang lumayan langsing juga tidak berbeda. Hasilnya, ruangan yang begitu padat, ditambah aliran keringat yang lebih dari biasanya menambah "semarak" perjalanan yang relatif sebentar itu. Sekali sekali penerangan di gerbong padam, menambah adrenali penumpang untuk bersatu padu meneriakkan huuuu..Tapi itulah momen yang tidak saya sadari, bahwa setelah menarik nafas lega di stasiun Pasar Minggu, hape ku tidak di saku lagi dan tidak juga di dalam tas. Hilang.


Pilihan kereta AC bukan berarti terhindar dari desakan. Masih saja terasa goyangan dari penumpang yang akan masuk di setiap stasiun. Tetapi, desakan yang mengkristal tidak sebeku di kereta ekonomi meskipun di kereta AC lebih sejuk dengan fasilitas AC yang bekerja dengan baik.


Selain tidak bebas dari himpitan kesesakan, naik kereta AC menyajikan panorama ekslusif yang menambah kesesakan di dada akibat gejolak perasaan yang mempertentangkan kewajaran dan kepatutan.


Seorang wanita muda dengan penampilan yang lumayan sehat, sebut saja si Nana, duduk berdampingan dengan seorang pria yang muda juga, sebut saja si Nano. Aliran komunikasi yang memancar dari sesama penyewa gerbong itu, saya tidak bisa simpulkan relasi antara Nana dan Nano. Saya berdiri di depan mereka, dan dengan sudut pandang yang lebih tinggi dari mereka, saya melihat Nana menawarkan senyum dan dibalas senyum Nano. Selanjutnya mereka meneruskan komunikasi dengan hape masing-masing difasilitasi ear pod. Tangan mereka lebih berkomat kamit dari bibir mereka, sehingga saya menduga mereka tidak sedang melakukan perbincangan. Mereka seperti kuda berlomba sibuk menarikan jemari di atas pad hape masing-masing. Aktivitas mereka terhenti sejenak, ketika pintu kereta terbuka dan menaikkan penumpang di Cikini, stasiun pertama setelah Gondangdia. Beberapa orang naik di gerbong yang sama dan menambah sedikit goyangan karena penumpang baru sedikit mendesak agar dapat tempat sebelum pintu kereta ditutup. Seiring kereta melaju, Nana dan Nano juga melaju jemari mereka. Aku menoleh kepada para penumpang yang baru, praduga saya mereka tidak jauh beda dengan kami. Ketika alihkan ke sekitar, hampir semua penumpang melakukan hal yang sama yaitu menunduk melotot dengan jari jemari di hape. Sebagian lain, juga menunduk tertutup seperti mengantuk atau tidur. Bahkan penumpang yang berdiri juga nyaris tidak beda, menunduk tertutup dengan kantuknya. Mau ngomong pada siapa?


Kereta berhenti lagi di Manggarai, dan ketika pintu terbuka, 3 penumpang naik। dua diantaranya relatif muda kecuali seorang sudah putih rambutnya dan agak kurus dengan menggendong seorang gadis mungil seusia anak saya 3 tahun। Hentakan kereta melaju membuat kami sedikit terhela dan terdorong ke belakang। Entah karena sudah lama menunggu atau karena terburu naik kereta si nenek nyaris terjungkal dan si cucu hampir terlempar। Untunglah penumpang sudah agak rapat karena terdesak sehingga nenek dan cucu tetap bisa berdiri।


Dari ucapan nenek saat insiden keciltadisi nenek seorang muslim yangsama dengan sebagian penumpang di gerbong 5 itu। Sekali-kali si nenek menaikkan cucu di kepitannya karena nenek tidak menggunakan kain untuk menggendong। Si nenek tidak cerewet dengan posisi cucu dan juga atas kondisi di kepadatan gerbong itu। Barangkali si nenek sudah biasa seperti itu। Saya kembali kepada Nana dan Nano, dan melihat mereka seperti tidak tahu si nenek sedang bersama cucu। Mereka menoleh juga kepada si nenek pada saat nenek naik, tapi lagi-lagi suara sayup-sayup pun tidak terdengar. Posisi mereka sangat dekat dengan si nenek, yang berdiri di sebelah saya.


Sini bu, terdengar suara dari belakang saya. Saya membalikkan kepala dan melihat seorang wanita berkerudung dan lebih berisi dari Nana berdiri dan menawarkan kursinya kepada nenek. Tadi waktu mengamati isi gerbong, si ibu sedang menunduk kantuk. Barangkali si ibu mau turun di Tebet pikirku. Si nenek dan cucunya secara hati-hati sambil bergelayut di tangan saya yang menggantung di pegangan menerima tawaran tempat duduk si ibu. Nenek menghempaskan pantatnya dan kelihatan lebih lega. Kelegaan si nenek merambat ke dada saya karena saya sudah mulai tidak tenang sejak dari Gondangdia dan adanya insiden si nenek. entah karena lebih dekat dengan Nana dan Nano, kegundahan hati saya dituduhkan pada Nano dan Nana karena mereka tidak berbagi dengan nenek. Nurani saya menuduh Nano tidak hormat pada orang tua, tapi ratio saya membisikkan bahwa mereka sudah membayar dan berhak duduk di gerbong itu. Salah si nenek yang ngotot masuk walau kereta sudah agak sesak. Apalagi si nenek tidak mengerti keterbatasannya. sudah seumur itu, dan kelihatan lemah, masih juga semangat mengajak cucu naik kereta. Ratio saya semakin keras meneriakkan bahwa bukankah sejak dulu kereta selalu sesak?


Batinku bersekutu dengan nurani melawan ratio menghadapi Nano dan nenek. Iya, si Nana juga kog cuek juga. Walaupun wanita, tapi karena lebih muda kan boleh dong memberikan kursinya bagi yang lebih tua. Sekalian si Nana memberi sindiran kepada Nano yang asik masyik dengan Nokia E 90. Nana sama juga dengan Nano. Sama-sama muda tapi tidak memberi energinya untuk yang lebih lemah.


Perdebatan, kegundahan di pikiran dan nuraniku sejenak mencair ketika suara si ibu lembut berkata "sini bu".

No comments:

Post a Comment