Jakarta kembali berbenah untuk memperbaiki tatanan ibu kota. Perbaikan bukanlah suatu harapan kosong. Perbaikan adalah realitas, fenomena yang bisa direncanakan, dikoordinasikan, diwujudkan dan dievaluasi. Perbaikan sebuah kota seperti Jakarta tidak bisa dilakukan hanya dengan slogan-slogan. Perbaikan itu sendiri layak dilakukan apabila dalam sistem dan organ yang ada masih ada yang baik. Jika semua organ dan sistem sudah tidak baik, maka tindakan yang layak dilakukan adalah mengganti keseluruhan organ tersebut.
Sebelum terlanjur kita jauh melangkah, terlebih terhisap dan terhanyut dengan rayuan kelompok atau individu yang menjanjikan perbaikan, perlu dilakukan uji kelayakan terhadap organ dan sistem yang ada dalam tubuh Jakarta.
Harapan yang dihembuskan para pejanji terfokus pada dua hal yang menjadi permasalahan di Jakarta yaitu macet dan mampet (banjir). Pertanyaan publik yang menjadi pemegang saham (eKTP) kota Jakarta adalah apakah dengan memperbaiki kemacetan menjadi kelancaran dan kemampetan menjadi kelegaan lalu masalah Jakarta sudah selesai?
Bukankah kewajiban yang utama dari seluruh publik terhadap pemegang sahamnya adalah mensejahterakan keseluruhan warganya secara berkeadilan?
Mengapa setiap perempatan, pertigaan atau perduaan lampu lalulintas, semakin bertambah orang-orang yang lemah, lapar alias miskin? Mungkinkah mereka mencapai sejahtera yang menjadi hak asasinya?
Para pejanji dan para penerima janji seolah-olah sudah sepakat membentuk opini publik bahwa yang utama (baca: sejahtera) dikesampingkan demi tujuan jangka pendek pejanji. Pejanji hanya ingin kursi, sehingga untuk mengikrarkan janji lewat televisi disetujui walaupun harus dengan biaya tinggi dan tidak peduli meskipun mengurangi durasi publikasi tersangka korupsi.
Kalau dihitung, patut diduga biaya janji di televisi lebih dari cukup untuk mengatasi macet dan mampet. Jadi apa yang diharapkan pejanji dari membuang energi kecuali kekuasaan tinggi?
Kekuasaan untuk apa? Untuk menutupi janji yang sudah diucapkan sehingga publik terpaksa melupakannya. Janji-janji tinggal janji, hidup sejahtera hanya mimpi.
Malam semakin dingin, karena badan lesu disedot kemacetan, perut sepertiga isi karena buruh digaji pas-pasan, sandang dan papan berada diatas kemampetan.
Masalah Jakarta lebih kompleks dari sekedar macet dan mampet. Masalah Jakarta adalah bagaimana Pejanji mewujudkan janji. Jika pejanji menjadi penguasa, maka jangan sekali-kali melupakan janji.
Property, gaji, lapangan kerja, perizinan, industrialisasi, urbanisasi merupakan elemen kota yang harus diperbaiki untuk mencapai kesejahteraan.
Solusinya?????
Jangan berani berjanji kalau tidak berani memberikan bukti.